Oleh Uqie Nai
Member Menulis Kreatif
Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Ronald Tannur terdakwa kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya Dini Sera Afrianti. Putusan tersebut langsung menuai sorotan publik dan mengundang reaksi cukup keras. Salah satunya aksi membakar ban dan keranda di depan gedung pengadilan sebagai bentuk protes ‘matinya keadilan’ pada Senin (29/7/2024).
Aksi tersebut dilakukan sekelompok orang yang tergabung dalam Aliansi Madura Indonesia. Koordinator aksi, Johar mengatakan tujuan dari aksi itu adalah menuntut kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya untuk mengevaluasi dan menindak tegas hakim yang memutus perkara yaitu hakim ketua Erintuah Damanik, Mangapul dan Heri Hanindyo. Ketiganya dianggap telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Perwakilan LBH Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Agus Suprianto menyebut majelis hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur menunjukkan matinya keadilan dan menciderai landasan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Pihaknya bersama rakyat menuntut para hakim terkait agar dinonaktifkan atau kalau perlu dipecat MA. Karena penilaian majelis hakim menyebutkan tidak ada unsur penganiayaan yang dilakukan Ronald Tannur kepada korban sehingga dijatuhi vonis tidak bersalah. Padahal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menghadirkan barang bukti berupa rekaman CCTV dan hasil visum korban di dalam persidangan. (Jppn.com, 28/07/2024)
Atas ketidakadilan vonis yang dijatuhkan hakim terhadap Ronald Tannur, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Surabaya, Ahmad Muzakki akhirnya mengajukan kasasi pada Senin (5/8/2024). Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya Joko Budi Darmawan telah berencana mengajukan kasasi pada Kamis, 1 Agustus 2024. (Tempo.co, 5/8/2024)
Keadilan hanya bagi Pemilik Cuan
Penganiayaan yang dialami korban Dini Sera Afrianti (Andin) memang cukup menggegerkan publik. Maka wajar kiranya jika vonis terhadap pelaku membuat keluarga dan masyarakat meradang hingga memunculkan asumsi yang beragam.
Sebelum dianiaya, korban dan pelaku sama-sama diundang dalam sebuah pesta. Setelah menenggak miras dan sama-sama dalam kondisi mabuk, Andin dan Ronald terlibat cekcok dan berujung penganiayaan oleh pelaku Ronald. Dalam keadaan kritis dan tidak berdaya korban dimasukkan pelaku ke dalam bagasi mobil untuk kembali ke apartemennya, bukan ke rumah sakit. Namun, sesaat setelah tubuh korban dikeluarkan dari bagasi mobil dengan kondisi mengenaskan, sejumlah orang yang melihat memintanya untuk membawa korban ke rumah sakit. Dan saat diperiksa petugas medis di UGD RS National Hospital, kondisi korban sudah meninggal.
Ketidakadilan yang diterima korban Andin dan keluarga bukan satu-satunya kasus yang terjadi di negeri ini. Banyak kasus yang sama-sama tidak mendapat keadilan, dimana pelaku tidak divonis berat bahkan bebas. Sebut saja di antaranya kasus kematian Brigadir J, kematian tragis enam laskar FPI di KM 50, kasus kematian Vina, dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan bahwa hilangnya nyawa manusia bukan sesuatu yang berharga yang harus diperjuangkan agar pelaku mendapat balasan sepadan. Hukum dan perangkat pengadilan seolah mudah dibeli dan tunduk pada siapa yang memiliki cuan, yakni karena pelaku adalah orang terpandang, anak pejabat, memiliki pengaruh di pengadilan atau pemerintahan.
Jauhnya rasa keadilan atas kasus yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia disebabkan hukum yang diterapkan adalah hukum buatan manusia. Manusia dengan akal yang terbatas, kemampuan yang terbatas, memungkinkan terbukanya celah “jual beli hukum.” Kelemahan hukum ini makin eksis saat landasan yang digunakan dalam bernegara adalah demokrasi-kapitalisme-sekularisme. Sistem demokrasi-kapitalisme menjadikan keadilan bisa dikompromikan, karena uang bisa menjadi pucuk kuasa dan solusi atas kasus yang ditangani.