OpiniOpini

Ruh Demokrasi Hadirkan Aparat Brutal

113

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Mahasiswa Universitas Bale Bandung Andi Andriana masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Mata Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat, hingga Sabtu (24-08-2024). Andi mengalami luka berat di mata bagian kiri karena terkena lemparan batu saat berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Pilkada di depan kantor DPRD Jawa Barat, Kamis lalu. Dari pantauan Kompas pada Sabtu siang, Andi (22) masih dirawat di salah satu ruangan di RS Cicendo yang merupakan fasilitas kesehatan Pusat Mata Nasional (kompas.id, 24-08-2024).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa Kawal Putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta. Isnur menyampaikan, sampai Kamis malam, 22 Agustus 2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing (tempo.co, 25-08-2024).

Menanggapi perilaku aparat dalam sejumlah aksi unjuk rasa #peringatandarurat di berbagai kota hari ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan: “Satu kata, brutal. Pengamanan yang semula kondusif, berujung brutal. Dan fatalnya, ini bukan pertama kali. Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, dari hak untuk berkumpul damai, hingga hak untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi.

Menurut amnesty, mereka bukan kriminal, tapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal. “Sejak pagi, Amnesty memantau langsung jalannya protes. Di petang hari, ada banyak yang ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum yang profesional. Jika ada peserta yang melakukan perobohan pagar Gedung DPR, tidak berarti perilaku brutal itu diperbolehkan. Kekuatan hanya bisa dipakai ketika polisi bertindak untuk melindungi atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas. Di lapangan, kekerasan yang dilakukan aparat sangatlah tidak perlu. Tidak ada jiwa yang terancam. “Perilaku aparat yang brutal adalah bukti gagalnya mereka menyadari bahwa siapapun berhak untuk memprotes melalui unjuk rasa. Berhak untuk menggugat, tidak setuju atau beroposisi. Dan semua ini dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional (amnesty.id, 22-08-2024).

Sungguh realita ini telah menegaskan, bahwa demokrasi yang sedang diselamatkan justru sebagai syahwat penjerat yang mampu melahirkan manusia brutal, anarkis dan bengis. Aksi refresif aparat telah menggoreskan tinta merah penegakan keadilan dengan catatan keburukan.

Harusnya penguasa aware. Masyarakat hanya menyampaikan muhasabah kepada pemerintah terkait pelanggaran yang terjadi, tetapi pemerintah tidak mau menemui demonstran dan melakukan dialog yang sehat. Selanjutnya yang terjadi adalah aparat melakukan kekerasan secara represif. Aparat menyemprotkan water canon, menembakkan gas air mata, melakukan pemukulan, dan tindakan represif lainnya.

Sungguh, tindakan represif penguasa tidak hanya terjadi kali ini. Hampir pada setiap aksi demonstrasi selalu ada tindakan kekerasan. Tidak hanya demonstrasi di jalanan, kritikan di dunia maya juga dibalas dengan tindakan represif melalui UU ITE. Jika konsisten dengan hak mengemukakan pendapat yang dijamin undang-undang, semestinya pemerintah membuka ruang dialog dengan perwakilan para demonstran. Hal-hal yang menjadi tuntutan mereka semestinya didiskusikan dengan baik sehingga mencegah terjadinya kericuhan. Namun, negara justru berlaku represif.

Mengamati hal ini, jelaslah sudah bahwa demokrasi tidak pernah melapangkan ruang bagi kritik dan koreksi dari rakyat, bertolak belakang dengan gembar-gembor demokrasi tentang dirinya yang menjunjung tinggi suara rakyat dan menjamin hak menyampaikan pendapat di depan umum. Namun ketika rakyat melakukan muhasabah pada penguasa, mereka kirim aparat untuk menghadang secara refresif. Muhasabah dibalas bergagah-gagah. Muhasabah disapu bagai sampah.

Demokrasi Menafikan Muhasabah

Sesungguhnya aktivitas muhasabah (mengingatkan/mengkritisi) penguasa adalah hak rakyat. Hak yang seharusnya dilindungi dan dijamin oleh negara. Sejatinya rakyat merupakan pemilik kekuasaan. Karena saat rakyat memberikan mandat kekuasaan pada penguasa yang terpilih, maka dalam menjalankan kekuasaannya, jika ada pelanggaran terhadap hak-hak rakyat oleh penguasa, rakyat berhak melakukan protes dalam bentuk demonstrasi.

Demikian pula jika pemerintah gagal mewujudkan kesejahteraan, rakyat berhak menyampaikan keluhannya.
Ketika pemerintahan berjalan, posisi muhasabah sangatlah urgen. Muhasabah memosisikan penguasa agar tetap berada di jalur yang benar, yaitu mengurusi rakyat. Jika muhasabah sirna, negara bisa suka-suka hingga salah arah, bahkan bisa mewujud menjadi tirani.

Menolak lupa. Tahun 2021 pembungkaman terhadap aktivis begitu gencar. Berdasarkan catatan KontraS, ada 26 kasus perihal kritik kepada pemerintah. Upaya pembungkaman meliputi penghapusan mural, perburuan pelaku dokumentasi, persekusi pembuat konten, hingga penangkapan sewenang-wenang aparat dengan jerat UU ITE.

Exit mobile version