Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
-رواه مسلم –
“Dari An-Nu’man bin Bisyir dia berkata, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Muslim No 4685)
Sungguh, ajaran Islam merupakan ajaran yang senantiasa menebarkan kasih sayang. Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda diriwayatkan Imam Abu Dawud, “Sayangilah penduduk bumi, niscaya engkau akan disayangi oleh penghuni langit (para Malaikat).”
Namun sayangnya realisasi dari sunnah Rasul ini jauh panggang dari api. Alih-alih limpahan kasih sayang tercurah, yang ada adalah kisah persaudaraan yang kian lemah.
Kasus Rohingya yang tertolak, yang hampir terlupakan saat ini menunjukkan realita nyata betapa nilai ukhuwah Islamiyyah tiada. Padahal Allah Swt begitu tegas menyampaikan dalam kitabNya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam potongan surat Al fath ayat 29
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
Mengutip dari tirto.id, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa respon sejumlah pihak yang menolak ratusan pengungsi Rohingya dan meminta pengembalian mereka ke negara asal, merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Dia menilai hal tersebut sebagai kemunduran keadaban bangsa ini. Padahal, kata Usman, masyarakat sebelumnya telah menunjukkan kemurahan hati dan rasa peri kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya. “Mereka (pengungsi Rohingya) mencari keselamatan hidup setelah berlayar penuh dengan perahu seadanya di laut yang berbahaya,” ujar Usman dalam keterangannya, Minggu (19/11/2023).
Fakta ini menggambarkan betapa sekat negara bangsa telah menghilangkan Iman taqwa manusia dalam hal menolong sesama manusia (terlebih ini adalah sesama Muslim). Kalimat “kembalikan mereka ke negara asal” mengidentikkan bahwa nasionalisme lebih utama dibanding persaudaraan.
Mengapa ini bisa terjadi?
*Nasionalisme Meruntuhkan Rasa Persaudaraan Hakiki*
Saat Rohingya mengalami genosida, nasionalisme meracuni setiap relung hidup manusia (tidak terkecuali Muslim Indonesia) hingga penderitaan di negeri lain adalah masalah yang tidak ada hubungannya dengan mereka.
Saat Rohingya mengalami genosida, nasionalisme telah melepaskan rasa kasih sayang dan kemanusiaan, hingga diam membisu, pura-pura tidak tahu, puncaknya adalah tidak adanya kemauan politik untuk bergerak menurunkan pertolongan kecuali jika itu untuk kepentingan mereka saja.
Saat Rohingya mengalami genosida, nasionalisme dalam bentukan negara-bangsa, menyebabkan rezim muslim tegas menolak bahkan mengusir saudara Muslim Rohingya yang terombang ambing penuh derita mencari perlindungan karena mereka memandang saudara sebagai orang asing yang tak perlu mendapatkan uluran pertolongan. Dan kita bisa menyaksikan Pemerintah Malaysia, Indonesia, dan Bangladesh mengusir pengungsi Rohingya. Para penguasa dengan penolakannya, lebih suka melihat para pengungsi mati di lautan daripada menyambutnya dan memberikan perlindungan.