Oleh. Mila Ummu Rafa
Akhirnya rezim Bashar Al-Assad resmi tumbang setelah 24 tahun berkuasa (8/12). Runtuhnya rezim tirani Bashar Al-Assad tersebut sekaligus menyudahi perang saudara Suriah yang telah berlangsung selama hampir 14 tahun. Namun di balik berita gembira tersebut, belum ada kepastian yang jelas terkait transisi kekuasaan dan masa depan di Negeri Syam. Hal ini membuat sejumlah pihak asing mulai mengambil langkah-langkah menekan untuk mengamankan kepentingannya. (CNBC Indonesia, 11-12-2024)
Kejatuhan rezim Assad merupakan hasil dari perlawanan yang panjang, didorong oleh berbagai faksi oposisi, seperti Front Demokratik Suriah, Tentara Nasional Suriah, dan Hayat Tahrir Al-Sham (HTS), yang mendapat sokongan signifikan dari Amerika Serikat dan Turki. Sementara rezim Assad didukung oleh Rusia dan Iran.
Tumbangnya Assad menjadi titik balik dalam sejarah politik Suriah, membuka babak baru yang dipenuhi ketidakpastian dan tantangan untuk membangun kembali Negeri Syam. Sebagaimana diketahui, rezim Bashar Al-Assad, memerintah dengan tangan besi sejak tahun 2000, dan telah menghadapi tantangan besar sejak pecahnya perang saudara pada 2011 yang menewaskan 500 ribu jiwa.
Diketahui, perang saudara tersebut dipicu oleh kemunculan ISIS yang tidak lain merupakan “boneka” buatan AS. Di tengah perseteruan antara ISIS dan Front al-Nusrah, pada September. Serangan ini, berujung pada penangkapan dan terbunuhnya Abu Bakr Al-Baghdadi, serta hancurnya kekuatan ISIS.
Setelah itu, pada 2017, hadir sosok Muhammad Al-Julani yang mengumumkan pemisahan dirinya dari Front Al-Nusrah lalu mendirikan HTS . Namun, banyak pihak berspekulasi bahwa Al-Julani adalah aset yang diternak AS. Pasalnya, pada 2008, setelah bebas dari penjara Amerika, ia malah diizinkan bergabung bersama kelompok pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi yang notabene masih ISIS.
Selain pengaruh AS, adanya dukungan militer Rusia dan Iran memungkinkan Assad dapat mempertahankan kekuasaannya meskipun tekanan internasional terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini dibenarkan oleh Presiden AS Donal Trump yang menyebut adanya dukungan Presiden Vladimir Putin di balik kekuasaan Assad dan runtuh karena Rusia tak lagi tertarik mendukungnya. (CNBC Indonesia, 8-12-2024)
Sekalipun rezim Bashar al-Assad telah tumbang, tetapi kekuasaannya untuk sementara masih akan dikendalikan oleh Perdana Menteri Suriah, Muhammad Ghazi al-Jalali sampai pengalihan kekuasaan secara resmi. Hal tersebut ditegaskan oleh pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Mohammad al-Julani, bahwa semua lembaga pemerintah akan tetap berada di bawah pengawasan dan kendali perdana menteri Suriah.
Faktor Penting Jatuhnya Al-Assad
Jika dicermati secara mendalam, setidaknya ada dua faktor yang membuat rezim Bashar al-Assad bisa tumbang lebih cepat.
Pertama, adanya ketidakpuasan publik akibat krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang panjang, inflasi tinggi, dan kelangkaan kebutuhan pokok semakin memperburuk kondisi kehidupan rakyat Suriah. Ditambah adanya sanksi internasional yang menciptakan ketegangan sosial yang tak terkendali, makin melemahkan dukungan domestik terhadap Assad.
Kedua, banyaknya faksi oposisi seperti Front Demokratik Suriah, Hayat Tahrir Al Syam (HTS), dan Tentara Nasional Suriah yang memperkuat ordinasi mereka dengan bantuan militer dan logistik dari Turki. Dukungan ini menciptakan momentum bagi oposisi untuk melancarkan serangan kilat yang berhasil mengguncang dan menggulingkan stabilitas rezim di Damaskus.
Momentum tersebut datang ketika Erdogan merasa kecewa atas sikap pemerintah Suriah yang berujung dengan adanya operasi militer yang dimulai pada akhir November 2024. Serangan terhadap Pemerintahan Assad tersebut melibatkan “Ruang Operasi Al-fat Al-Mubin”, termasuk Tentara Nasional Suriah, Hayat Tahrir Al-Syam, dan kelompok lain yang sebagian besar didukung oleh Turki.