Oleh Intan A.L
Pegiat Literasi
Razia prostitusi kembali dilakukan oleh Satpol PP Kota Bandung, Jawa Barat. Hal ini dilakukan setelah mendapat aduan dari pihak terkait yang merasa terganggu dengan aktivitas yang terjadi di sekitarnya. Petugas berhasil mengamankan belasan orang dari dua apartemen yang dilaporkan. Di antara mereka ada anak di bawah umur yang segera diserahkan kepada DP3A Kota Bandung (detik.com, 18/09/2024).
Kasus serupa yang menjaring prostitusi anak juga terjadi sebulan lalu. Polsek Denpasar Barat menangkap mucikari prostitusi anak via daring di Denpasar, Bali. Lagi-lagi motifnya ekonomi dan dibutakan untuk mendapatkan uang secara instan (kompas.com, 02/08/2024).
Maraknya kasus prostitusi anak sangat mengkhawatirkan, terlebih bagi orang tua yang tidak bisa memantau aktivitas anak selama 24 jam. Namun, anak juga membutuhkan proses tumbuh kembang yang normal dengan berinteraksi di masyarakat. Sayangnya, kita tidak bisa menjamin lingkungan anak akan selalu baik. Maka, penting bagi kita untuk memahami persoalan mendasar dari berulangnya kasus prostitusi anak ini guna menempatkan solusi yang terarah dan tepat sasaran.
Kondisi lingkungan sangat dipengaruhi oleh peraturan yang berlaku di tengah masyarakat. Saat ini, demokrasi yang mengedepankan kebebasan dalam hampir semua aspek kehidupan memiliki peran besar. Pasalnya kebebasan ini juga termasuk dalam mengabaikan pandangan hidup yang dianggap tidak menguntungkan. Sehingga manusianya cenderung berperilaku sesuka hati dan bebas sesuai kehendak nafsu duniawi. Dalam hal ini mencakup berpedoman kepada paham sekularisme dengan asas manfaatnya.
Sekularisme menjauhkan manusia dari melibatkan nilai-nilai agama dalam aktivitas sehari-hari. Agama dibatasi secara khusus pada ranah spiritual dan ibadah saja. Sedangkan aktivitas umum dijauhkan dari nilai agama secara baku. Artinya, aturan umum yang berlaku baik hukum, ekonomi termasuk politik tidak boleh bersandar pada agama, mengingat asal usul sekularisme sendiri sebagai produk dikotomi kekuasaan kaum gerejawan dan para raja. Dampaknya, agama dipandang negatif bila turut campur dalam urusan masyarakat umum. Hal ini mendorong manusia bertahan hidup dengan nilai-nilai materialistis semata di kehidupan umum. Sedangkan agama hanya ditemui dalam kehidupan khusus sesuai kebutuhan tiap individu tanpa campur tangan penguasa.