Oleh Dewi Soviariani
Ibu Dan Pemerhati Umat
Aku cinta produksi dalam negeri, tak lagi menjadi semboyan yang didengungkan oleh pemerintah saat ini. Bukan tanpa sebab tentunya, produk Cina yang kian digemari semakin mengancam matinya produk lokal. Hal ini membuat resah para pengusaha dalam negeri akibat banjir produk Cina yang tak terkendali.
Apa sesungguhnya yang membuat situasi ini semakin menyulitkan produsen lokal? Mengapa barang dan produk Cina begitu mudah untuk masuk ke perdagangan Indonesia? Memang tak dipungkiri peran negara dalam hal ini sangat memungkinkan atas legalnya produk Cina yang beredar.
Angka eksport Cina ke Indonesia begitu masif, mengingat perjanjian strategis kedua negara sejak lama maka tak heran jika saat ini Cina dengan produk murahnya terus membanjiri pasaran Indonesia. Cina terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi, sehingga biaya rata rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif. Melejitnya ekspor Cina ke Indonesia atau dengan kata lain impor Indonesia ke Cina, dapat dilihat dari Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada semester I 2024 nilai impor Indonesia dari Cina naik 8,21% secara kumulatif (cumulative-to-cumulative/ctc) menjadi US$32,45 miliar.
Dari sisi kualitas sendiri produk Cina sangat memuaskan konsumen dalam negeri. Kuat, tahan lama serta murah, paket komplit yang sesuai kantong masyarakat dengan kondisi ekonomi hari ini. Eksport barang murah ini telah berlangsung lama hingga puncaknya kini semakin membludak.
Terutama dua jenis produknya yang sangat menonjol, yakni tekstil dan keramik. Bahkan sebelumnya jenis produk industri rumah tangga, baja, elektronik, mainan dan lain-lain telah lebih dulu masuk dan menguasai pasaran Indonesia. Cina tak main-main mengeluarkan harga hingga harga di luar nalar pun bermunculan yang membuat masyarakat Indonesia tergiur.
Adapun penyebab terjadinya banjir barang murah dari Cina diawali dengan bergabungnya Indonesia kedalam CAFTA (China Asean Free Trade Area) merupakan perjanjian multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina. Dampak buruk dari diterapkannya ekonomi global se-ASEAN telah mengancam matinya produk dalam negeri. Apalagi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan literasi ‘finansial yang rendah’ kondisi ini juga memberikan dampak buruk pada individu.
Kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri saat ini sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Badai PHK yang terus berlangsung akibat tutupnya pabrik lokal memperparah situasi Indonesia sebagai negara berkembang. Bahkan Menteri Keuangan atau Menkeu AS, Janet Yellen turut memberikan perhatian dan peringatannya atas kondisi pasar negara berkembang yang terus dibanjiri barang murah Cina. (SINDOnews.com, 28-7-2024).
Yellen juga mendorong, untuk memberikan tekanan kepada Beijing agar mengubah model ekonominya. Cina, ingin mendominasi manufaktur, jadi semua sektor manufaktur bisa gulung tikar karena ambisinya yang ingin menjadi pabrik dunia. Ia juga menyampaikan keprihatinannya serta kekhawatiran atas apa yang menimpa pada negara G20 yang mengalami nasib serupa dibanjiri oleh barang murah dari Cina.
Namun sayangnya, hingga kini pemerintah belum mengambil langkah yang tepat untuk mengatasinya. Para pengusaha lokal telah banyak gulung tikar, mereka berteriak dengan kebijakan negara yang selalu bergonta-ganti tapi hasilnya masih memihak investasi asing dan produk mereka yang berkeliaran bebas sejak bergabungnya Indonesia kedalam CAFTA sejak 2010.
Ekonomi Kapitalisme yang kini dianut oleh negara menjadi akar permasalahan sesungguhnya. Produk lokal terancam mati produk Cina laku keras di dalam negeri. Bangkrutnya sejumlah perusahaan akan membawa dampak badai PHK yang luas. Angka pengangguran semakin tinggi, kemiskinan pun tak kalah meningkat. Efek domino selanjutnya adalah angka kriminalitas yang semakin bertambah.
Upaya pemerintah sendiri menyikapi banjir barang murah dari Cina terkategori lambat dalam penanganan. Harusnya pemerintah sudah bisa membaca kebijakan pasar bebas yang diusung melalui CAFTA. Sehingga tindakan antisipasi sudah dilakukan sejak awal. Bukan malah gonta-ganti kebijakan yang hasilnya ternyata malah memihak para importir dan pengusaha asing beserta investasinya.
Bahkan selama ini pemerintah justru membebani industri dalam negeri dengan berbagai pungutan, termasuk pajak, yang menjadikannya kalah bersaing dengan produk Cina. Pemerintah seharusnya menyetop impor dari luar negeri segera setelah mengetahui bahwa Cina hendak membanjiri pasar global dengan produknya. Bukan justru mengeluarkan Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang salah satu isinya adalah relaksasi impor.