Oleh Ummu Zhafran,
Pegiat Literasi
Tak banyak yang tahu, pemberian insentif fiskal berupa tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan (PPh) hingga 100% telah resmi diperpanjang sampai dengan Desember 2025. (cnbcindonesia.com, 4-11-2024). Artinya para pengusaha dengan kriteria tertentu dibebaskan dari membayar pajak atas penghasilannya.
Di sisi lain, PPN bakal dinaikkan 1 persen menjadi 12 persen di awal tahun 2025. (hukumonline.com, 11-12-2024). Hal tersebut berarti semua transaksi untuk semua barang kecuali kebutuhan pokok diharuskan membayar pajak 12 persen tersebut.
Banyak pihak kemudian membandingkan kedua kebijakan di atas. Mayoritas menolak tegas dan menganggap tidak adil. Memberi tax holiday kepada pelaku usaha skala besar dan menaikkan PPN di tengah daya beli masyarakat yang makin rendah, jelas tidak populis. Sungguh sangat zalim!
Lalu berkembang pula opini terkait PPh. Katanya, ketimbang menaikkan PPN yang berlaku pada setiap transaksi barang yang dilakukan tiap orang, harusnya pemerintah menggenjot PPh karena hal itu lebih adil. Sebab PPh dipatok berdasarkan jumlah penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun. Sehingga yang berpenghasilan besar tentu sewajarnya membayar pajak lebih besar.
Namun, terlepas dari riuh rendah polemik soal pajak terdapat satu poin menarik diungkap Ustadz Felix Siauw di akun sosial medianya ketika menyinggung alasan di balik kenaikan PPN. Menurutnya, kebijakan yang diambil negara seperti halnya seseorang yang terlilit utang dan harus mencari segala cara untuk menutupi pengeluaran, bahkan jika itu berarti memungut lebih banyak dari rakyatnya. Ambyar.
Sukar dipungkiri karena memang seperti itu kenyataannya. Tiada cara yang lebih cepat dan efektif guna menarik dana segar dari masyarakat selain dengan memberlakukan PPN yang lebih besar dari sebelumnya.
PPh maupun PPN Itu Pajak, Tabiat Asli Kapitalisme
Betapa sengsara hidup di bawah naungan sistem ekonomi kapitalis yang merupakan buah dari ideologi kapitalisme. Jamaknya dalam sistem ini, sumber dana pembangunan bertumpu pada pajak. Sebab negara berlepas diri dari menjamin urusan yang menjadi kebutuhan dan kemaslahatan rakyat. (wikipedia). Buktinya bisa ditelusuri dari postur penerimaan APBN yang lebih dari 80% persennya berasal dari pajak sejak dulu. (cnnindonesia.com, 21-3-2022).
Selain itu, baik PPh maupun PPN adalah pajak yang sejatinya memalak dan membebani rakyat. Karena pihak pengusaha kaya maupun rakyat miskin, idealnya sama-sama memiliki hak sebagai warga negara yang wajib dijaga dan diurusi. Sungguh tak ada yang namanya keadilan jika berkaitan dengan pemerasan dan pemalakan.
Parahnya lagi, demokrasi yang merupakan sistem politik yang juga lahir dari rahim kapitalisme gagal mewujudkan slogannya sendiri. Suara rakyat suara Tuhan, tapi gelombang penolakan dari segenap lapisan rakyat nyatanya dianggap angin lalu. Alih-alih menuruti aspirasi rakyat, yang dilakukan justru tetap melaju ibarat pepatah, anjing menggonggong kafilah berlalu.
Islam, Datang dari Yang Maha Adil
Berbicara soal adil, maka harus diakui terminologinya hanya ada pada Islam.
Firman Allah Swt. dalam penggalan surah Al An’aam,
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil…” (QS. Al-An’aam: 115)
Qatadah menjelaskan adil dalam ayat di atas, bahwa semua yang diperintahkan oleh-Nya adalah hal yang adil, tiada keadilan selain keadilan-Nya.
Salah satunya tampak dari risalah Islam yang dibawa Rasulullah saw. terkait kelola keuangan. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama kas negara (baitulmal). Pajak atau yang disebut dharibah dalam Islam, praktiknya sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalis. Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga, melainkan hanya pada aghniya’ atau kaum muslim yang kaya dan berkecukupan. Berbeda jauh dengan kebijakan yang seolah tertukar, tax holiday untuk pengusaha dan tax everyday bagi rakyat jelata seperti saat ini.