Opini

PP Berbau Legalisasi Seks Bebas?

161
×

PP Berbau Legalisasi Seks Bebas?

Sebarkan artikel ini

Sari Setiawati

Ironis sekali, di saat para remaja banyak yang tertimpa judi online, pinjol, dekadensi moral, mental illness, dan permasalahan lainnya, muncul pengesahan PP (Peraturan Pemerintah) yang bernuansa melegalkan zina. Peraturan Pemerintah Nomor 28/2024 tentang PP UU Nomor 17/23 tentang Kesehatan, yang mengundang kontroversi. Pasalnya, dalam Pasal 103 ayat (4) tertulis bahwa pelayanan kesehatan reproduksi—selain meliputi deteksi dini penyakit, pengobatan, rehabilitasi dan konseling—mencakup pula penyediaan alat kontrasepsi bagi warga usia sekolah dan remaja. Banyak yang tidak setuju terhadap dikeluarkannya PP tersebut. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama. Bahkan Ormas Islam PUI (Persatuan Umat Islam) menyatakan penolakannya, melalui Ketua DPP PUI Bidang Pendidikan, Dr. Wido Supraha, M.Si, yang menuntut pemerintah membatalkan PP No 28/2024 tersebut. Alasannya, PP tersebut mengandung unsur-unsur pemikiran trans-nasional terkait seks bebas, yang sangat berbahaya.

Berbeda halnya dengan bantahan dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang menanggapi kritikan DPR mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar. Menurut mereka, aturan tersebut tidak berarti ditujukan untuk semua remaja. Aturan itu hanya ditujukan untuk remaja usia subur yang sudah menikah dan memang membutuhkan kontrasepsi. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, juga menekankan bahwa pelayanan kontrasepsi tidak untuk semua remaja, melainkan khusus bagi mereka yang menikah dengan kondisi tertentu, untuk menunda kehamilannya. Seperti penyediaan kondom tetap diperuntukkan untuk yang sudah menikah, sementara untuk usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi.

Hanya saja, pada Pasal 109 ayat 3 diatur bahwa pelayanan kontrasepsi hanya dilakukan terhadap dua kelompok, yakni pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko. Pasangan usia subur pastinya adalah mereka yang telah menikah. Lalu siapa yang dimaksud dengan ”kelompok usia subur yang berisiko”? Hal ini mengundang kecurigaan bahwa yang dimaksud adalah para pelajar dan remaja yang belum menikah, tetapi aktif melakukan seks di luar nikah. Artinya, bisa ditafsirkan menurut PP ini mereka juga berhak mendapatkan pelayanan pemberian alat kontrasepsi.

Adanya PP tersebut diakui atau tidak, sudah mengarah pada normalisasi seks bebas (perzinaan) di kalangan remaja dan pelajar. Kenyataan saat ini, banyak remaja yang menganggap bahwa hubungan seks sebelum nikah adalah wajar. Pada bulan Maret lalu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Hasto Wardoyo, menyoroti kenaikan persentase remaja usia 15-19 tahun yang melakukan hubungan seks untuk pertama kali. Ia menyebutkan remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual ada di angka 59 persen, sedangkan remaja laki-laki ada di angka 74 persen. “Menikahnya rata-rata pada usia 22 tahun, tetapi hubungan seksnya pada usia 15-19 tahun.
Jadi perzinaan meningkat di kalangan remaja, dan mereka pun rawan terlibat dalam jaringan prostitusi. Pada bulan Juli lalu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan ratusan ribu dugaan transaksi mencurigakan terkait prostitusi anak. Dugaan transaksi terkait prostitusi anak melibatkan 24.049 anak usia di bawah 18 tahun. Ada 130.000 transaksi dengan angka mencapai Rp 127 miliar.

Maka, dalam kondisi seperti itu, dikeluarkannya PP no 28/2024 diklaim sebagai solusi terhadap masalah kesehatan seksual. Padahal justru dapat memperparah masalah yang sudah ada. Inilah solusi khas dari ideologi sekularisme-liberalisme, yang keberadaan negara justru menjamin kebebasan seks di luar nikah dan kebebasan reproduksi yang dianggap sebagai bentuk kebebasan induvidu. Untuk mencegah kehamilan dan infeksi penyakit menular seksual yang mungkin dapat muncul, masyarakat difasilitasi dengan alat kontrasepsi melalui PP tersebut.

Tentu solusi semacam ini bukan menyelesaikan masalah, tapi akan memunculkan masalah baru, bisa menjerumuskan masyarakat, terutama pelajar dan remaja ke dalam jurang kehancuran, berupa semakin maraknya zina di kalangan remaja, yang berakibat naiknya angka kehamilan di luar nikah, aborsi dan penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI) melaporkan bahwa pada tahun 2017 jumlah remaja menderita penyakit kelamin jumlahnya terus meningkat. Di sejumlah rumah sakit umum daerah banyak pasien usia 12-22 tahun menjalani pengobatan karena mengidap infeksi menular seksual. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan di tahun 2022 bahwa kelompok usia 15-19 tahun yang dikategorikan sebagai remaja menjadi kelompok paling banyak terinfeksi HIV. Sebanyak 741 remaja atau 3,3 persen terinfeksi HIV.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *