Oleh: Zuliyama, S. Pd.
Kian hari kian terdengar berbagai permasalahan yang menimpa generasi. Mulai dari tawuran, bullying, hingga pornografi dan pornoaksi. Mata pun seolah tertutup tak ingin menindaklanjuti karena menganggap sudah budaya generasi. Lantas sampai kapan ini dibiarkan terus terjadi? Mampukah teratasi jika berpegang pada liberalisasi?
Pada Minggu (1/9), empat remaja di bawah umur menjadi tersangka rudapaksa dan pembunuhan terhadap seorang siswi SMP. Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan Kombes Anwar Resowidjojo, keempat bocah tersebut telah terbukti merencanakan rudapaksa hingga korban meninggal dunia. Pelaku tersebut masing-masingg berumur 16 tahun, 13 tahun dan 12 tahun dengan korban yang berumur 13 tahun. Berdasarkan pemeriksaan, keempat remaja tersebut mengaku melakukan rudapaksa untuk menyalurkan hasratnya usai menonton video cabul di ponselnya (cnnindonesia.com, 6/9/2024).
Hingga kini Polrestabes Palembang telah menyerahkan tiga pelaku ke panti rehabilitasi di kawasan Indralaya, Ogan Ilir. “Undang-undang melindungi mereka dari penahanan, mengingat usia dan status mereka sebagai anak-anak,” kata Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihhartono. “Keluarga memohon bantuan pihak kepolisian untuk menitipkan ketiga pelaku di panti rehabilitasi anak, demi keselamatan mereka,” jelas dia (kumparan.com, 6/9/2024).
Merebaknya pornografi pada remaja
Banyaknya remaja yang kini kecanduan video mesum hingga berimbas pada tindak kejahatan sudah bukan hal asing lagi terdengar di telinga kita. Berdasarkan jurnal flourishing yang ditulis oleh Ramadhani dkk. , kecanduan pornografi pada remaja terjadi karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut seperti rasa ingin tahu, tingkat religiusitas serta faktor emosional individu. Adapun faktor eksternal diantaranya faktor ligkungan teman sebaya, kurangnya edukasi seksual serta kemudahan mengakses konten pornografi di internet.