Oleh. Febri Ghiyah Baitul Ilmi
(Pegiat Opini Morowali)
Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang batasan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur MA, calon Bupati dan calon Wakil Bupati, atau calon Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota sontak menuai respons beragam dari warga +62, yang kemudian memelesetkan singkatan Mahkamah Agung (MA) menjadi Mahkamah Adik (MA). Pasalnya, pengubahan aturan tersebut kental terhadap aroma politik, yakni memberikan jalan untuk putra bungsu Presiden Jokowi yakni Kaesang Pangarep untuk maju pada Pilkada 2024.
Keriuhan ini bermula ketika MA mengabulkan gugatan yang diajukan Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana yang tertuang di dalam Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, dan Bupati dan Wakil Bupati. Di mana, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur minimal berusia 30 tahun, dan jabatan Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota minimal berusia 25 tahun terhitung sejak penetapan calon. Awalnya, aturan tersebut berisi tentang usia minimal terhitung sejak penetapan calon, kemudian diubah menjadi saat pelantikan. (cnbcindonesia.com, 6-6-2024)
Putusan tersebut dianggap sebagai karpet merah bagi Kaesang Pangarep untuk maju sebagai calon Wakil Gubernur Jakarta. Kaesang pun telah dijodohkan dengan kader Partai Gerindra, Budisatrio Dwiwandono dan kader Partai Amanat Nasional, Zita Anjani. Kedua partai tersebut diketahui telah tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mengusung pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 mengusung Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
*Keniscayaan Demokrasi*
Keputusan MA merupakan cara strategis yang digunakan rezim untuk melanggengkan kekuasaannya, melalui praktik politik dinasti. Rezim saat ini, sudah tidak bisa meneruskan kekuasaannya, karena maksimal masa jabatan dua periode. Olehnya, praktik politik dinastilah yang cocok untuk meneruskan kursi kekuasaannya.
Tak dimungkiri praktik politik dinasti merupakan konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi. Sebab, sistem demokrasi memiliki prinsip persamaan hak. Sehingga, semua warga negara termasuk anak presiden memiliki kesempatan yang sama.
Imbas penerapan politik dinasti yakni korupsi dan nepotisme. Mengapa? Karena, ketika kekuasaan terfokuskan pada satu keluarga memiliki peluang besar menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Kemudian juga, akan melahirkan kurangnya akuntabilitas (tanggung jawab) dan patronase (hubungan timbal balik). Hal ini, bisa dilihat pada praktik Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah aturan perundang-undangan untuk memberi jalan pada figur tertentu pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.
Praktik politik dinasti tidak lepas dari ideologi yang mewadahi sistem demokrasi yakni Ideologi Kapitalisme yang memiliki tujuan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme ini, memiliki asas sekularisme yakni memisahkan aturan agama dengan kehidupan manusia. Sehingga, demi mewujudkan politik dinasti politisi menghalalkan segala cara untuk meraih tujuanya.