Oleh: Hideyosi Mori
Sejumlah pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto mulai ditempatkan di jajaran petinggi BUMN, mengulangi praktik yang kerap terjadi pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pengamat dan aktivis menilai “politik balas budi” semacam ini bisa merongrong kinerja BUMN dan akhirnya merugikan negara (https://www.bbc.com/indonesia/articles/c722qmn8l04o)
Bagi-bagi kue pasca pemilu tidak lagi menjadi rahasia, telah diketahui bersama bahwa setiap kali pemilu berakhir akan ada pergantian komisaris ataupun direksi BUMN untuk orang-orang yang telah berjuang keras dalam memenangkan calonnya. Bisa kita katakan “politik balas budi”. “Saya telah berjuang untuk mereka, maka saya layak mendapatkannya. Saya akan melakukan yang terbaik” mungkin itu yang ada dalam benak “si paling berkorban dan berjuang”.
Alasan yang lagi-lagi diutarakan adalah “biarkan mereka membuktikan diri bahwa mereka pantas menduduki jabatan penting BUMN tersebut, kita harus berbaik sangka” dan segudang alasan yang dapat kita temukan ketika melihat berita. Nampaknya masyarakat dibuat menerima bahwa “politik balas budi” adalah sesuatu yang wajar dan tidak usah diperkarakan. Inilah sejatinya demokrasi akan selalu membuka peluang dalam mempermainkan amanah kekuasaan yang diberikan untuk kepentingan pribadi tertentu.
Demokrasi dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pada fakta tidak demikian. Telah terpampang nyata bahwa slogan ini hanya sebagai pemanis agar orang-orang senantiasa berharap dan meyakini bahwa demokrasi adalah kebaikan untuk kita dan merupakan satu-satunya solusi, padahal penerapan demokrasilah yang menjadi akar permasalahan munculnya “politik balas budi”.
“Politik balas budi” adalah keniscayaan dalam demokrasi karena sistem politik ini lahir dari sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan hingga pemisahan agama dengan negara, sistem ini telah meletakkan kedaulatan atau hak membuat hukum pada manusia. Maka tak heran jika segala sesuatu dinilai dari manfaat dan materi yang didapat, kerjasama juga dilakukan karena ada kepentingan atau imbalan yang hendak diraih. Akibatnya tidak perlu standar termasuk dalam hal kapabilitas.
Lantas, bagaimana mungkin manusia yang lemah ini dapat memberikan keadilan bagi seluruhnya? Bagaimana dia akan amanat dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya? dapatkan sesuatu yang lemah mengetahui segala kebaikan?