Oleh : Nabila Fadel
(Praktisi Kesehatan)
Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) menjadi polemik bagi mahasiswa dan pihak kampus. Tidak dimungkiri, kuliah saat ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, kenaikan UKT saat ekonomi kian sulit tentu membuat mayoritas orang tua makin merasa berat. Sehingga menjadi polemik uang kuliah tunggal (UKT) kian memanas. Mahasiswa dari berbagai universitas bergiliran berdemonstrasi menolak kenaikan UKT. Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) Universitas Brawijaya (Unibraw), misalnya, melakukan aksi demonstrasi menolak kenaikan UKT pada Rabu (22-5-2024). Sebelumnya, mereka melakukan audiensi bersama pihak kampus, tetapi hasilnya nihil dari harapan. Sekitar 300 massa aksi Amarah memenuhi Gedung Rektorat Unibraw. Mereka menuntut Kemendikbudristek mencabut Permendikbudristek No. 2/2024. Massa pun menuntut respons Menteri Nadiem Makarim. Apabila kementeriannya tidak dapat menyelesaikan persoalan ini, mahasiswa akan berdemo menuntut agar Nadiem mundur dari jabatannya (Tempo, 23/05/2024). Di sisi lain, Aliansi BEM SI menyebut, hingga saat ini belum ada perguruan tinggi (PT) di Indonesia yang mengubah kebijakan mengenai UKT. Saat ini pihak BEM SI sedang mengumpulkan video aksi solidaritas. Setelah terkumpul, BEM SI akan menginstruksikan kepada semua mahasiswa untuk mogok kuliah pada Senin, tepatnya pada tanggal 27 Mei 2024 (Tempo, 24/05/2024).
Kenaikan biaya UKT adalah salah satu dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di Tanah Air, terutama sejak tahun 2000 melalui UU Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN). Dengan pemberlakuan UU PTN-BHMN, negara bukan menambah, tetapi justru memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi. Lalu untuk menutupi kekurangannya, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Jalan pintas pun ditempuh, di antaranya melalui regulasi penerimaan mahasiswa baru dengan menerapkan biaya tinggi, termasuk membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mampu membayar mahal.