Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi
Belum lama ini kenaikan upah minimum sedang menjadi topik pembahasan yang hangat diperbincangkan. Kepala Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Subchan Gatot mengungkapkan bahwa Dewan Pengupahan Nasional sudah melakukan sidang dan rapat khusus untuk membahas hal tersebut.
Merujuk pada PP no 51/2023, tahun ini APINDO ingin mengubah skala upah. Di mana Pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun akan mendapat kenaikan tergantung kemampuan perusahaan, yakni antara 1-3%. Disebutkan, gaji yang tidak terlalu tinggi membuat perusahaan punya ruang untuk tumbuh.
Kenaikan upah tinggi sebelum pandemi yang berkisar 8% per tahun, telah membuat banyak perusahaan tidak kuat bahkan hengkang. Sementara itu Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam menyebut, sebelumnya Indonesia sempat menjadi tujuan investasi utama, bahkan mengalahkan negara lain. Namun semua itu berubah ketika buruh menuntut banyak kenaikan. (www.cnbcindonesia.com, 07/11/2024)
Permasalahan Upah Minimum Provinsi (UMP) memang menjadi hal yang tidak pernah menemukan titik keadilan. Bagi para buruh, kenaikan gaji yang tidak seberapa ini menjadi secercah harapan di tengah beratnya beban kehidupan. Padahal jika dicermati, kenaikan penghasilan mereka tidak terlalu berarti, sebab beriringan dengan meningkatnya harga berbagai kebutuhan pokok. Di sisi lain para pengusaha merasa keberatan jika upah naik terlalu tinggi. Karena kenaikan gaji secara otomatis akan menambah beban dan resiko bagi perusahaan.
Tuntutan kenaikan UMP akan selalu menjadi isu tahunan yang menuai polemik, baik dari pihak buruh maupun pengusaha. Jika aturan berpihak pada pekerja, perusahaan akan merugi. Sebaliknya, ketika regulasi menguntungkan majikan maka karyawan lah yang merasa dirugikan. Persoalan upah menjadi masalah utama yang tidak kunjung terselesaikan dengan tuntas. Penetapan UMP dalam kapitalisme, ditetapkan berdasarkan standar kebutuhan seorang pekerja lajang agar dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan yang disebut dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Padahal, KHL setiap tahunnya disesuaikan dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, yakni berjalan sesuai tingkat inflasi nasional dan terdiri dari beberapa komponen kebutuhan hidup yang sangat sederhana dan cukup untuk memenuhi standar paling minim dari masyarakat. Dengan penetapan seperti ini upah buruh tidak akan membuat sejahtera. Di wilayah yang taraf hidupnya tinggi, gaji UMP tidak cukup untuk untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebab pendapatan mereka tidak sebanding dengan pengeluaran.
Hal inilah yang menjadi permasalahan mendasar pengupahan dalam paradigma kapitalisme. Penetapan gaji tidak didasarkan pada manfaat jasa atau tenaga yang dia berikan kepada perusahaan, tetapi berlandaskan perhitungan kebutuhan hidup paling minim bagi setiap individu.
Buruh atau pekerja dalam pandangan kapitalisme adalah salah satu komponen yang harus diminimalisir pendapatannya demi mengurangi biaya produksi. Tujuannya jelas, yakni agar Industri mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bagi pengusaha, mereka hanya alat produksi yang harus bekerja maksimal demi tercapainya target. Dalam sistem ini, perusahaan memiliki kebebasan untuk mengelola tenaga kerja, mulai dari perekrutan hingga PHK berdasarkan perhitungan bisnis dan keuntungan, bukan kesejahteraan tenaga kerja
Pengupahan (akad ijarah) antara pekerja dan pengusaha juga di atur dalam syariat Islam. Dalam kitab Sistem Ekonomi Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan penetapan besaran upah pekerja, jenis pekerjaan, dan waktu kerja merupakan akad yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, tidak boleh ada yang dirugikan. Ijarah dilakukan terhadap jasa dari usaha yang telah ia keluarkan. Sedangkan besarnya tenaga bukan standar untuk mengukur jasanya. Jika demikian maka bayaran seorang pemecah batu lebih besar dari seorang insinyur, karena jerih payahnya lebih besar.