By : Ulianafia
Wajah pendidikan kian kemari nampak tercoreng. Belum juga masuk gerbang sekolah sudah dimulai dengan berbagai kecurangan dan keculasan. Koordinator Nasional (Koornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai berbagai kecurangan yang terus berulang pada masa penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Seperti, jual beli kursi, numpang Kartu Keluarga untuk memanipulasi jalur donasi, sertifikasi yang abal-abal untuk jalur prestasi, titipan dari dinas dan sebagainya, serta pemalsuan kemiskinan karena ada jalur afirmasi. (Tempo..co, 11/6/2024)
Inilah fakta yang harusnya disadari dari berbagai pihak yang terkait dengan pendidikan, terkhusus pemerintah dan bahkan juga masyarakat. Bagaimanapun upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan, namun jika hanya fokus pada solusi praktis maka tidak akan terwujud. Sebab, tiada lain ia hanya seperti tambal sulam atas semua problematika yang telah carut marut dalam dunia pendidikan.
Semua memang berawal dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik liberal yang ditanamkan di negeri ini. Yang akhirnya dari rahimnyalah lahir kebijakan disemua bidang, baik ekonomi, politik, hukum, kesehatan dan bahkan pendidikan yang seperti saat ini.
Singkatnya sekuler menjadikan kebenaran ditangan manusia, Kapitalis menjadikan kesenangan hidup (materi) sebagai tujuan, sedangkan liberal menjadikan kehidupan bebas untuk bersaing dan menentukan jalan hidupnya sendiri-sendiri. Ini telah menampakkan akan kecacatan dari sistem ini. Sehingga sudah bisa dibayangkan bagaimana rupa kebijakan yang lahir darinya.
Inilah ibu dari pendidikan yang telah melahirkan generasi ke generasi selama lebih dari seabad lamanya ini. Semenjak Mustafa Kamal memaksakan sistem kehidupan ini, yaitu ideologi kapitalisme yang bermula di turki tahun 1924 silam.
Hal ini tidak bisa dipungkiri, semenjak hari itu generasi semakin menunjukkan kelemahannya, kerusakan demi kerusakan, dan bahkan nampak diambang kehancuran. Baik, dari pergaulan bebas, free sex, pencabulan, bullying, tawuran, narkoba, sampai pembunuhan dan mutilasipun terjadi. Secara global angka kriminalitas pada generasi muda cukup mengkhawatirkan.
Data Health Organization (WHO) 2020 menunjukkan, setiap tahunnya terjadi 200 ribu pembunuhan dikalangan anak-anak muda usia 12- 29 tahun. Sebanyak 84% kasus melibatkan laki-laki usia muda. (VOI, 19/4/2020)
Dengan ini , maka sudah bisa dipastikan jika sistem zonasi, bergantinya belasan kurikulum, hingga berbagai sertifikat untuk para guru (pengajar) tidak akan menuntaskan atau bahkan menyentuh akar dari permasalahan pendidikan ini. Faktanya saat kebijakan baru dibuat maka muncul pula berbagai kecurangan dan bahkan kejahatan baru dalam dunia pendidikan.
Sistem Unggul untuk Pendidikan Unggul
Akan jauh berbeda jika pendidikan itu lahir dari rahim yang unggul. Sebab, pendidikan bukanlah suatu sistem yang bisa berdiri sendiri namun ia adalah bagian dari sistem yang sedang diterapkan dalam kehidupan disuatu negeri atau beberapa negeri. Maka, baiknya pendidikan dan generasi yang dilahirkan tiada lain dengan melihat sistem yang diterapkan, bukan sebatas otak atik kebijakan pendidikan.