Opini

Pilkada Berbiaya Mahal Sarat Konflik

86
×

Pilkada Berbiaya Mahal Sarat Konflik

Sebarkan artikel ini

Oleh  Rindangayu, S.Pd

Perhelatan pilkada sudah di depan mata. Para calon kontestan di berbagai daerah nampak makin intens berupaya memperluas dukungan. Bagi sistem demokrasi, pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah sebuah mekanisme yang diharapkan menjadi jalan untuk melahirkan pemimpin terbaik di tingkat daerah. Namun kenyataannya, kisruh dan konflik horisontal tak lepas menghiasi prosesnya. Mulai dari mobilisasi aparat desa, suap, hingga kampanye bermuatan janji-janji yang tak logis mencerminkan wajah buruk demokrasi.

Mobilisasi Kades dan Politik Uang: Pelanggaran yang Tersamarkan

Sudah menjadi rahasia umum, jika calon dari kubu petahana akan memanfaatkan kedudukannya untuk ‘menekan’ jajaran pejabat dibawahnya agar ikut mensukseskan pemilihan atas dirinya. Salah satu contoh bentuknya adalah dengan mobilisasi kades untuk menggalang dukungan bagi kandidat tertentu/ petahana sebagaimana kasus yang terjadi di Bekasi (Tirto.id, 26/10/2024).

Kasus yang serupa acapkali juga ditemukan di daerah lain. Fakta ini menunjukkan betapa pilkada telah disusupi praktik kotor demi kepentingan kelompok tertentu. Mirisnya, pelanggaran tersebut sering tersamarkan akibat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak bertindak tegas dalam menjalankan tugasnya.

Sementara itu, ancaman suap dan “serangan fajar” atau money politic semakin memperburuk situasi. Meskipun ada sanksi pidana bagi pemberi dan penerima suap sesuai dengan menurut Pasal 515 dan Pasal 523 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, namun ancaman tersebut tak membuat jera bagi pelaku maupun penerima suap. Terbukti dari data KPK tahun 2019, sebanyak 72 persen pemilih menyatakan pernah menerima money politik karena faktor ekonomi, tekanan, hingga lemahnya pencegahan hukum. Ironisnya, dalam beberapa kasus, pemberi dan penerima suap ini nyaris tak tersentuh hukum.
Padahal sangat jelas Rasulullah SAW memperingatkan bahwa bahwa pemimpin yang terpilih melalui suap tidak akan mendapatkan keberkahan:
_”Allah melaknat orang yang memberi suap dan penerima suap.”_
(HR. Abu Dawud, no. 3580; Tirmidzi, no. 1337)

Alih-alih menjadi ajang mencari pemimpin yang murni memperjuangkan aspirasi rakyat, keadaan ini menunjukkan bahwa pilkada lebih sering dijadikan arena pertarungan oligarki (para pemilik modal/ para kapital) dan elit politik demi kepentingan pribadi atau kelompok. Kampanye yang diwarnai dengan janji-janji yang terkadang tak logis seperti menjanjikan “surga” bagi pemilihnya, atau berupa janji kesejahteraan dan kehidupan lebih baik, hanyalah sebatas bujuk rayu sesaat tanpa kepastian pelaksanaan .

Biaya Besar, Manfaat Minimal

Ironisnya, pilkada membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk Pilkada 2024, anggaran diperkirakan mencapai Rp41 triliun. Ini adalah jumlah yang sangat besar dan berasal dari pajak rakyat. Sayangnya, dengan segala praktik kecurangan yang terjadi, uang sebesar itu tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang kapabel dan memperjuangkan kesejahteraan, rakyat justru terjebak dalam konflik horizontal dan perpecahan sosial akibat perbedaan dukungan politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *