Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi
Dari Anas bin Malik ra. berkata, “Rasulullah saw. pulang dari peperangan Tabuk lalu disambut oleh Saad bin Muadz al-Ansari. Selanjutnya Nabi saw. bersalaman dengannya dan Baginda bertanya, “Apakah yang menyebabkan tanganmu menjadi kasar?” Dia pun menjawab, “Wahai Rasulullah, aku selalu memukul dengan tali dan penyodok tanah untuk menafkahi keluargaku.” Kemudian Nabi saw. pun mencium tangannya dan bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan disentuh api neraka.”
Peristiwa ini menunjukkan kekaguman Rasulullah saw. terhadap seseorang yang gigih bekerja demi menafkahi keluarga, meski melakukan pekerjaan kasar atau hina di mata manusia tetapi halal di hadapan Allah Swt. Namun, di kehidupan saat ini, bekerja keras dengan cara yang halal tampak sudah semakin langka.
Di tengah-tengah persaingan hidup yang begitu ketat, membuat banyak orang memilih melakukan jalan pintas demi memperoleh harta, kepuasan, dan kebahagiaan sesaat, meski jalan tersebut justru akan menjerumuskannya pada malapetaka. Jauh sebelum ini Rasulullah saw. pernah memprediksi, “akan tiba suatu zaman di mana orang tidak peduli lagi terhadap harta yang diperoleh, apakah ia halal atau haram.” (HR Bukhari)
Kini, kita menyaksikan sebuah kenyataan di mana orang sangat berani melakukan perbuatan yang diharamkan Allah Swt. berupa kejahatan korupsi, penipuan, perampokan, perjudian, dan sebagainya. Tentu saja fakta seperti ini banyak terjadi karena kondisi dan situasi mendorongnya untuk berbuat demikian. Di satu sisi banyak perusahaan besar yang bangkrut, tutup, dan memberhentikan para pekerjanya, tak hanya sebagian bahkan secara massal. Di sisi lain perekonomian semakin karut marut, harga sembako membubung tinggi, dan tuntutan hidup pun semakin melonjak. Di dunia pendidikan, biaya sekolah dan kuliah tak kalah gesitnya merangkak naik. Begitu pula biaya kesehatan membutuhkan tak sedikit rupiah. Sehingga muncul lelucon, orang miskin tidak boleh sakit, orang miskin tidak boleh lapar, dan orang miskin tidak boleh kuliah. Sungguh miris.
Kondisi ini tentu saja wajar terjadi di negara-negara pembebek barat yaitu pengusung kapitalisme dan sekulerisme. Prinsip serba bebas, yang punya modal itulah yang berkuasa untuk menentukan kebijakan sehingga rakyat terpinggirkan. Alhasil, PHK pun digelar secara massal. Sebagaimana berita yang dilansir oleh CNBC Indonesia pada Rabu (8/5/2024), PT Sepatu Bata Tbk (BATA) terpaksa harus menyetop pabrik produksi di daerah Purwakarta, Jawa Barat. Sebanyak 233 pekerja harus menerima kenyataan pahit yaitu terkena PHK massal.
Hal ini diakui oleh Ketua Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Disnakertrans Jawa Barat Firman Desa dalam Evening Up CNBC Indonesia, Selasa (7/5/2024), bahwa fenomena ini merupakan kelanjutan dari banyaknya pabrik di sektor padat karya yang tutup di Provinsi Jawa Barat.
Memang, dengan kejadian PHK ini maka masalah pengangguran semakin merata. Bahkan di seluruh penjuru Indonesia dan kebanyakan yang terkena PHK adalah mereka yang memiliki usia produktif. Tentu saja ini mengakibatkan terhambatnya pembangunan nasional untuk menciptakan masyakarat yang makmur, maju, adil, sejahtera, dan kompetitif. Sedangkan dampak dari banyaknya pengangguran, yaitu pada sektor pertumbuhan ekonomi. Dengan fakta ini para pekerja pun masuk dalam lingkup mimpi buruk. Bayang-bayang kian rumitnya liku kehidupan berada tepat di hadapan mereka.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi tingginya tingkat pengangguran, yaitu karena kurangnya lapangan pekerjaan dan banyak perusahaan yang mempekerjakan tenaga asing dibanding warga negara sendiri. Ini semua terjadi karena diterapkannya sistem kapitalis sekular.di negeri ini. Dalam sistem ini buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi.