OpiniOpini

Pesta Demokrasi Untuk Oligarki, Rakyat Tersakiti

84
×

Pesta Demokrasi Untuk Oligarki, Rakyat Tersakiti

Sebarkan artikel ini

Dengan kehadiran para bohir juga sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang ditetapkan. Sehingga akibatnya, pemerintah pusat maupun daerah seolah tidak memiliki tupoksi dalam menetapkan suatu aturan. Para politisi yang sudah menjabat pun harus membalas budi para sponsor yang telah mendukung mereka.

 

Politik balas budi yang tiada habisnya ini sangat merugikan rakyat karena kepentingan para donatur itu kerap berseberangan dengan rakyat. Misalnya saja dalam hal pembangunan daerah, prioritas pembangunan infrastruktur nyatanya demi kepentingan oligarki bukan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari pemerintah lebih mendahulukan pembuatan jalan menuju resort-resort mewah dan tempat wisata dibandingkan memperbaiki jembatan antardesa yang sudah rusak. Dapat pula kita saksikan beritanya di linimasa media sosial, anak-anak sekolah mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi jembatan yang tidak layak hanya untuk bisa pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu.

 

Sehingga atas dasar ini, berharap akan terpilih penguasa yang amanah dalam sistem demokrasi tidak ubahnya pungguk merindukan bulan. Sistem ini akan terus melanggengkan oligarki dan para kacungnya melalui politik transaksionalnya. Rakyat hanya menjadi objek politik yang dipakai berdasarkan kepentingan mereka. Tidak pelak, rakyat tentu kian tersakiti.

 

Sistem Politik Islam

 

Sistem politik Islam berjalan sesuai dengan akidah Islam sebagai landasannya. Ikatan yang terbentuk antara penguasa dan rakyat juga merupakan ikatan akidah, bukan manfaat. Individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah mereka yang ingin berkhidmat untuk mengurusi urusan umat. Jabatan dalam sistem Islam adalah dianggap sebagai amanah untuk mendulang pahala, sekaligus sesuatu yang menuntut tanggung jawab besar, karena Allah SWT. akan mengharamkan surga terhadap pemimpin yang tidak amanah. Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari-Muslim).

 

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan pemimpin akan mendapatkan ganjaran oleh Allah Swt. dengan keharaman masuk surga. Jika ada sekelompok orang atau oligarki yang mencurangi suara dan kemudian memimpin, sejatinya Allah SWT. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruknya balasan bagi penguasa yang curang serta menipu rakyatnya.

 

Terkait pilkada, sebenarnya di dalam Islam tidak ada syariat yang mengaturnya sebab kepala daerah di dalam Khilafah ditunjuk oleh khalifah berdasarkan saran dan masukan dari Majlis Umat (MU) dan Majlis Wilayah (MW). MU dan MW dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah baik di level provinsi maupun kota. Jika ada perbedaan pendapat antara MU dan MW, yang diutamakan adalah pendapat MW sebab MW adalah representasi masyarakat daerah.

 

Penyebutan kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi dinamakan sebagai wali. Sedangkan untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota dinamakan sebagai amil. Adapun pihak yang melantik adalah wali diangkat dan dilantik langsung oleh khalifah. Sedangkan amil, bisa diangkat langsung oleh khalifah atau oleh wali yang telah diberi mandat oleh khalifah. Sehingga dalam hal ini, hanya khalifah yang berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik wali maupun amil. Ini berdasarkan kewajiban mengangkat khalifah dengan metode baiat. Mekanisme ini selain lebih sederhana, juga tidak mengeluarkan banyak biaya seperti pemilihan langsung pada pilkada demokrasi. Penunjukan kepala daerah oleh khalifah pun akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak memiliki beban mahar yang besar kepada para kacung politik seperti saat ini.

 

Masa jabatan kepala daerah dalam Khilafah tidak ditentukan, tetapi penempatan tugasnya tidak boleh terlalu lama. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah kapan saja dan bisa diangkat lagi untuk daerah lain. Selain itu, kepala daerah tidak boleh dipindahtugaskan dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa pemberhentian jabatan terlebih dahulu di wilayah sebelumnya. Adapun yang berwenang memberhentikan kepala daerah adalah khalifah. Dalam hal ini, MU bisa menyatakan ketadakrelaan atau menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya, tetapi yang berwenang memberhentikannya tetap Khalifah.

 

Oleh karenanya, jangan pernah menaruh harap berlebih bahwa sistem demokrasi mampu melahirkan pemimpin yang amanah. Karena pada hakikatnya justru demokrasi sendirilah yang merupakan sistem rusak dan merusak sehingga individu dan parpol hanya bekerja berdasarkan materi. Rakyat pun menjadi korban kerakusan para elite oligarki.

 

Dengan demikian, sistem politik yang fokus kepada kemaslahatan umat hanya bisa terjadi melalui penerapan sistem politik Islam. Pemilihan kepala daerah yang ditunjuk oleh khalifah memiliki fungsi untuk menyederhanakan proses pengangkatan sehingga tidak membutuhkan banyak biaya, dan yang paling penting adalah kesesuaian dengan sunah Nabi SAW.

 

Wallahualam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *