Oleh : Dewi Retno putri
Aktivis muslimah Deli Serdang
Maraknya perundungan yang banyak dilakukan semua kalangan terutama remaja di era ini adalah bukti kemerosotan adab juga akhlak. Meski termasuk pelanggaran hukum namun anehnya tidak ada jerat hukum pasti yang bisa membuat para pelaku jera dari aspek apapun. Pelaku seolah ketagihan, bila sudah sekali melakukanya maka dia pasti akan mengulanginya.
Banyak orang mengira bahwa perundungan/bullying hanya sebatas pada tindakan kekerasan pada fisik saja. Padahal kata-kata kasar, makian adalah bentuk perundungan/bullying paling sadis. Bila tindakan kekerasan fisik bisa meninggalkan luka yang bisa diobati tapi kata-kata kasar akan sangat merusak kesehatan mental si korban. Realitas yang terjadi banyak orang terutama anak-anak dan remaja yang mengalami trauma psikis, insecure/rendah diri yang berlebihan, takut pada seseorang atau sesuatu, cengeng, bahkan frontal/labil tingkah lakunya. Bahkan ada yang sampai nekad bunuh diri karena merasa tidak lagi layak hidup akibat caci maki yang pernah diterimanya.
Beberapa riset menyatakan bahwa korban perundungan/bullying akan mengalami kesulitan dalam interaksi sosial, kerapuhan mental yang dominan dan bahkan bisa tampil menakutkan dan menjelma menjadi seorang psycho hingga psikopat. Semua terjadi karena adanya rangsangan otak yang memutar kembali ingatan si korban pada apa yang pernah dialaminya. Hingga timbullah rasa dendam dan ingin membalasnya.
Mengapa perundungan/bullying bisa terjadi? Apa dan siapa yang salah?
Akan sangat panjang jawaban dari pertanyaan ini pastinya. Secara sederhana yang patut disalahkan adalah orang tua dan sistem yang ada.
Mengapa? Adalah tugas orang tua untuk memberikan pengertian dan pemahaman mana yang baik, salah dan benar kepada anak-anak sedini mungkin. Namun sayangnya orang tua zaman sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari uang atau ngerumpi dengan tetangga (terutama ibu-ibunya) daripada menghabiskan waktu bersama anak. Bila pun bisa ada waktu bersama anak-anaknya, orang tua kerap menciptakan jarak dengan gadget masing-masing. Bahkan ada orang tua yang sepenuhnya mempercayakan gadget/handphone menjadi orang tua pengganti anak-anaknya. Dimulai saat bayi, jika anak menangis pasti ibu-ibu akan langsung menyalakan handphone untuk menenangkan si bayi dengan memutar animasi/kartu yang tinggal pilih di channel-channel sosial media. Begitupun saat anak mulai bertumbuh hingga sekolah, handphone tak tertinggal peranannya. Mirisnya, banyak orang tua yang tidak bisa atau tidak mau mengontrol penggunaan gadget/handphone pada anak-anak. Berpikir dangkal; “Yang anakku anteng/tenang bila udah pegang hape.”
Disangkal atau tidak, itu memang cara berpikir dan bersikap praktis orang tua zaman sekarang dalam mendidik anak-anaknya. Acuh tak acuh dan cenderung masa bodoh. Bila kebutuhan premier dan sekundernya sudah tercukupi berarti mereka sudah menunaikan tanggungjawab dengan baik. Mereka lupa dan lalai bahwa anak-anak juga memerlukan asupan gizi untuk rohani dan jiwanya sebagaimana tubuhnya yang membutuhkan makanan juga minuman.
Para orang tua kerap lupa, tidak tahu bahkan tidak mau tahu juga mencari tahu apa-apa saja yang jadi kebutuhan pokok anak-anaknya. Dari satu sisi hal ini mungkin bisa dimaklumi karena mereka sudah kelelahan bekerja seharian demi bisa memenuhi nafkah keluarganya. Apalagi bila kedua orang tua sama-sama bekerja full time dari pagi hingga sore bahkan malam. Nyaris tak ada waktu tersisa untuk memperhatikan anak-anaknya. Terlebih bila keluarga berasal dari kalangan ekonomi bawah dan beranak banyak. Namun di sisi lain, kelalaian orang tua ini juga tidak dapat termaafkan. Sebab baik buruknya kondisi kesehatan jiwa dan raga anak, semua bermula dari orangtuanya/keluarganya.