Opini

Perlunya Intervensi dalam PPDB Zonasi

180
×

Perlunya Intervensi dalam PPDB Zonasi

Sebarkan artikel ini

 

Oleh Ana Ummu Rayfa

Aktivis Muslimah

Memasuki bulan Juni dan Juli, masyarakat Indonesia terutama yang memiliki anak usia sekolah mulai disibukkan dengan proses PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), baik itu jenjang SD, SMP, maupun SMA. Terhitung semenjak 6 tahun yang lalu, pemerintah mulai menerapkan sistem baru dalam PPDB sekolah negeri di Indonesia, yang menjadi perbedaan besar adalah penerimaan jalur zonasi atau wilayah yang menyediakan kuota sebesar 50% dari peserta didik yang diterima di sebuah sekolah.

Enam tahun berjalan, sistem zonasi ini setiap tahunnya selalu menuai pro kontra. Untuk masyarakat yang berdomisili di di radius terdekat dengan sekolah negeri, tentu sistem zonasi ini membawa keuntungan tersendiri. Tetapi, hal berbeda dirasakan oleh para siswa yang tempat tinggalnya jauh dari jangkauan jarak yang disyaratkan dalam sistem zonasi. Jalur lain pun, yaitu jalur prestasi dan afirmasi hanya menyediakan peluang kecil, 15% dari jumlah penerimaan siswa.

Ketua DPRD Kabupaten Bandung Sugianto menyatakan bahwa masih banyak masyarakat yang belum bisa mengakses SMA Negeri karena masih terbatasnya sekolah khususnya jenjang SMA di wilayah Kabupaten Bandung yang memiliki topografi pegunungan dan jumlah penduduk yang besar. Lebih lanjut Sugianto menyampaikan solusi bahwa Pemkab dapat mengajukan pembangunan sekolah baru kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Bila pengajuannya tidak disetujui, maka Pemkab dapat memberi intervensi dalam bentuk lain, yakni dalam hal anggaran. Bila penolakan disebabkan karena tidak adanya lahan maka Pemkab dapat memberikan hibah. (media online ayobandung.com)

Problematika sulitnya mencari sekolah murah dan berkualitas sebenarnya sudah terjadi bahkan jauh sebelum sistem zonasi diterapkan. Berawal dari keinginan pemerintah untuk memperbaiki penyebaran siswa agar lebih merata, tetapi berbanding terbalik dengan ketersediaan sekolah negeri terutama SMA yang memadai di setiap wilayah. Sehingga, masyarakat yang tidak memiliki SMA Negeri di wilayahnya, mau tidak mau harus mencari sekolah swasta agar tetap dapat melanjutkan pendidikan. Ini menunjukkan ketidakmampuan negara dalam menyediakan fasilitas pendidikan murah dan berkualitas bagi rakyat.

Tentu semua ini adalah hasil dari sistem kapitalis yang menjadi dasar dalam pengurusan negara, termasuk aspek pendidikan. Kapitalisme memandang pendidikan sebagai barang ekonomi, sehingga muncul ungkapan, bila ingin pendidikan berkualitas, maka bersiaplah untuk merogoh kocek lebih dalam.

Sistem kapitalis dengan liberalisasi ekonominya juga mengakibatkan pemerintah harus berbagi dengan swasta. Maka kita bisa melihat saat ini banyaknya sekolah swasta yang tentu biayanya lebih tinggi. Masyarakat seolah diberi pilihan dalam pendidikan, bila ingin sekolah negeri yang murah maka jumlahnya terbatas, dan bila ingin sekolah yang berkualitas maka siapkanlah dana yang lebih besar untuk masuk ke sekolah swasta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *