Opini

Perlintasan KAI Sebidang Rawan Kecelakaan

58
×

Perlintasan KAI Sebidang Rawan Kecelakaan

Sebarkan artikel ini

Oleh Ummu Muthya
Ibu Rumah Tangga

Akhir-akhir ini kecelakaan kereta api di pintu perlintasan sebidang cukup sering terjadi, hal ini disebabkan oleh pengawasan yang masih minim. Untuk itu PT KAI (Persero) terus berupaya untuk meminimalisir. Menurut Manager Hubungan Masyarakat (Humas) PT KAI (Persero) Daop 2 Bandung, Ayep Hanapi menyatakan bahwa jajarannya berencana melakukan penutupan untuk mencegah dan menghindari hal tersebut. Teknisnya adalah melalui kerjasama dengan stakeholder yaitu DJKA (Direktorat Jenderal Perkeretaapian), Komenhub (Kementerian Perhubungan) pemerintah daerah, aparat wilayah dan lain-lain.

Pihaknya akan menyuntik mati 25 pintu perlintasan sebidang liar, dua diantaranya berada di Kabupaten Bandung dan purwakarta, masing-masing menjadi tiga titik. Sementara di Garut akan ditutup sebanyak enam lokasi, juga di Ciamis, tasikmalaya dan sukabumi. Penutupan ini berdasarkan Undang- Undang no 23/2007 pelaksanaan penutupan sebidang liar yaitu pemerintahan daerah. (Kesatu.co. 6/9/2024)

Kecelakaan maut sering terjadi pada perlintasan yang tidak ada penjagaannya, hingga memakan banyak korban. Namun pemerintah masih belum memberikan perhatian yang serius untuk menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya dengan memasang palang pintu atau mengubahnya menjadi flyover maupun underpass. Tindakan penutupan di beberapa titik hanya akan menambah sulit, akibat penetapan konsep otonomi daerah.

Adapun salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan pada perlintasan biasanya dikarenakan para pengendara tetap melaju meskipun sudah ada peringatan melalui sejumlah rambu yang telah ditetapkan secara resmi. Sulitnya mengendalikan masyarakat untuk tertib saat melintas seharusnya bisa ditanggulangi maksimal dengan menyiapkan palang pintu serta tenaga penjaga walaupun harus menambah dana karena terkait dengan nyawa.

Namun sayang karena negara menerapkan sistem kehidupan batil yakni kapitalisme sekular, hal tersebut sulit terwujud. Kapitalisme yang menitikberatkan pada keuntungan telah menjadikan transportasi sebagai lahan bisnis bukan semata-mata dalam rangka mengurus rakyat. Ditambah dengan konsep good governance yang menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator sehingga tidak memiliki kekuasaan yang memadai untuk menyelesaikan persoalan perlintasan sebidang. Pada akhirnya diserahkan kepada operator yang tidak memiliki kemampuan menyelesaikannya karena keterbatasan dari sisi pendanaan.

Alhasil kecelakaan maut di perlintasan sebidang akan terus berlanjut selama pemerintah tetap mempertahankan tata kelola transportasi kapitalisme sekular yang menihilkan fungsi negara dan mengandalkan konsep otonomi daerah. Sebagai pengelolaannya diserahkan kepada menteri, jalan provinsi dikelola Gubernur, sedangkan Bupati dan wali kota mengelola jalan desa kabupaten.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *