Opini

Perjanjian Subsidi Perikanan WTO, Kita Jangan Plonga-Plongo

290
×

Perjanjian Subsidi Perikanan WTO, Kita Jangan Plonga-Plongo

Sebarkan artikel ini

Oleh : Saridah

(Aktivis Muslimah)

 

Masih banyak nelayan di Bontang yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan juga perizinan.

Hal itu disampaikan Wali Kota Bontang, Basri Rase saat menghadiri peresmian Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tanjung Limau, Selasa (28/5/2024).

Karenanya ia meminta kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim, untuk bisa menambah kuota BBM di Kota Bontang.
Bahkan untuk perizinan pun nelayan mengharuskan ke Unit Pelayanan Terpadu Daerah (UPTD) Provinsi Kaltim, yang berada di Samarinda.

Sehingga Basri ingin Pemprov Kaltim membuatkan pelayanan UPTD di Bontang, agar para nelayan bisa dengan mudah mengurus soal perizinan tanpa perjalanan jauh-BONTANG

Perjanjian Subsidi Perikanan

Perjanjian Subsidi Perikanan (Agreement on Fisheries Subsidies) pada dasarnya menghapus subsidi perikanan yang menyebabkan illegal, unregulated, and unreported fishing (IUUF). Perjanjian tersebut nantinya akan membolehkan negara untuk tetap memberikan subsidi berupa bahan bakar minyak (BBM) kepada nelayan dengan beberapa ketentuan. Nelayan pun harus memenuhi kebijakan penangkapan ikan terukur melalui implementasi pengelolaan perikanan berkelanjutan dan efektif (fisheries management/FM).

Dalam KTM WTO tersebut, negara maju juga menekan untuk menghapus subsidi akibat terjadinya OFOC dan maraknya IUUF, terutama bagi nelayan skala besar.

Di tengah desakan WTO mengenai pencabutan subsidi karena dianggap berdampak pada eksploitasi sumber daya kelautan, negara berkembang, seperti India dan Indonesia, tetap mempertahankannya. Pencabutan subsidi justru akan menyulitkan, terlebih bagi nelayan Indonesia yang mayoritas skala kecil.

Meski demikian, Indonesia sepakat dengan rencana pembatasan subsidi, tetapi tetap diperlukan fasilitas pengecualian terutama kepada pengusaha perikanan skala kecil.

Perikanan, Sektor Ekonomi Strategis

Bagi Indonesia, perikanan adalah sektor ekonomi strategis. Jelas karena wilayah perairan Indonesia sangatlah luas. Perlu diketahui, jumlah tangkapan Indonesia saat ini sebesar 7 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, KKP mencatat terjadi kenaikan nilai ekspor produk perikanan Indonesia pada kuartal I-2022.

Secara kumulatif nilai ekspor produk perikanan mencapai 1,53 miliar dolar AS. Angka ini naik 21,63% dibanding periode yang sama pada 2021. Ini setara dengan Rp21,95 triliun dan kenaikannya luar biasa dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, produk perikanan Indonesia makin diminati di pasar ekspor.

Pada kuartal I-2022 tersebut, Amerika Serikat menjadi negara tujuan ekspor utama dengan nilai sebesar 727,27 juta dolar AS. Kemudian disusul Tiongkok (214,39 juta dolar AS), Jepang (151,62 juta dolar AS), ASEAN (151,26 juta dolar AS), dan Uni Eropa (78,17 juta dolar AS).

Dari segi komoditas, udang menjadi favorit dengan nilai sebesar 621,92 juta dolar AS atau 40,64% terhadap nilai ekspor total. Kemudian disusul Tuna-Cakalang-Tongkol (189,53 juta dolar AS; 12,39%), Rajungan-Kepiting (172,56 juta dolar AS; 11,28%), Cumi-Sotong-Gurita (154,53 juta dolar AS; 10,10%), Rumput Laut (114,26 juta dolar AS; 7,47%), dan Tilapia (14,86 juta dolar AS; 0,97%).

Antara Produksi, Subsidi, dan Pencurian Ikan di Laut Indonesia

Produksi yang meningkat akan mendorong potensi ekspor yang bertambah pula. Adanya subsidi pun akan menekan biaya sehingga harga ikan dapat bersaing dengan negara lain. Masalahnya, kita tidak boleh menutup mata akan adanya fenomena pencurian ikan. Sebagai informasi, KKP menangkap lebih dari 166 kapal pencuri ikan sepanjang 2021, terdiri dari 114 kapal ikan Indonesia dan 52 kapal ikan asing yang 25 kapal di antaranya berbendera Vietnam.

Di samping itu, hasil analisis Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menunjukkan masuknya kapal asing pencuri ikan di Laut Natuna Utara meningkat pada Maret dan April 2022. Jumlahnya sekitar 50—100 unit setiap hari. Secara persentase, sebanyak 50,6% lokasi penangkapan kapal pencuri ikan tersebut terjadi di sana dan mayoritas dilakukan oleh kapal ikan berbendera Vietnam.

Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bendera itu hanya kamuflase. Apalagi menilik data ekspor ikan segar yang mayoritas masuknya ke negara-negara maju. Artinya, bisa jadi kapal asing dari negara lain—termasuk negara-negara maju—juga menggunakan bendera Vietnam.

Parahnya, kapal-kapal asing tersebut berukuran besar (100 GT). Kapal-kapal asing tersebut diduga sebagai penampung ikan curian dari kapal-kapal kecil. Sebaliknya, kapal-kapal milik nelayan lokal yang hanya berukuran sekitar 10 GT tentu bukan tandingannya. Lebih ironis lagi, patroli di Laut Natuna Utara lemah dari segi sarana kapal, baik dari jumlah maupun kapasitas, serta anggaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *