Oleh: Isheriwati, Spdi
Kondisi anak- anak didunia saat ini berbeda – beda, terlebih jika kondisi dinegaranya dalam keadaan konflik maupun perang.
Anak – anak yang kondisi negaranya sedang berperang hari ini yaitu Palestina melawan zionis yahudi bukanlah kondisi yang ideal untuk pertumbuhan anak, dengan situasi mencekam dan selalu dikepung dengan kematian membuat anak – anak disana membutuhkan pentingnya perlindungan yang nyata.
Di Indonesia Hari Anak Nasional (HAN) 2024 ini diperingati sebagai Hari Anak ke-40. Acara puncaknya diselenggarakan di Jayapura, Papua dengan mengambil tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Dengan tema ini, diharapkan mampu menstimulasi dan menggaungkan nilai-nilai dasar tersebut kepada seluruh anak Indonesia. (Kompas, 19-7-2024).
Tema ini memang mencerminkan betapa kita sebagai bangsa, menggantungkan masa depan kita pada anak-anak kita. Ketika mereka bisa bertumbuh kembang dengan baik, mendapatkan pendidikan berkualitas, dan memperoleh jaminan keamanan sampai saatnya mampu mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan bangsa, cita-cita Indonesia maju pun akan terwujud.
Namun faktanya, permasalahan anak sampai saat ini menggunung tanpa solusi tuntas.
*Apakah Saat ini Anak Terlindungi?*
Mari kita lihat data-data di bawah ini untuk bisa pada sampai kesimpulan bahwa negara telah mampu melindungi anak atau justru gagal melakukannya.
Kasus kekerasan terhadap anak masih marak terjadi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan, para 2023, ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan. Bahkan, anak yang korban kekerasan tersebut dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Tercatat, ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri pada 2023.
Berbagai kekerasan tersebut tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di Tanah Air sepanjang tahun lalu, yakni kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 8.838 kejadian.
Persoalan bisa kita katakan makin besar karena bukan hanya angka, tetapi intensitas masalahnya meningkat.
Pelaku kekerasan anak, sekarang lebih sering dari orang terdekatnya, termasuk ayah, ibu, atau kerabat serumah. Tindak kekerasannya juga makin sadis, bahkan kadang diluar nalar. Ada orang tua yang tega membuang atau menelantarkan anak-anaknya yang masih balita, ibu yang tega menjual anak ke lelaki hidung belang, bahkan ada ibu yang tega mencabuli anak laki-lakinya yang masih di bawah umur demi uang.
Bukan hanya menjadi korban, tidak adanya perlindungan yang semestinya dari negara juga membuat anak-anak menjadi pelaku tindak kriminal. Anak-anak gadis melacurkan diri, remaja pelaku tawuran tega membunuh, bullying, pelaku pornografi, hingga menjadi pecandu narkoba.
Masalah anak saat ini bertambah dengan kecanduan judi online.
Kepala Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online sekaligus Menko Polhukam Hadi Tjahjanto menyebut, sekitar 2% pemain judi online adalah anak di bawah umur atau kurang dari 10 tahun, jumlahnya 47.400 orang. Sedangkan antara 10—20 tahun sekitar 440.000 orang.
Anak-anak Indonesia juga masih harus berhadapan dengan berbagai persoalan lain, seperti kemiskinan, stunting, serta rendahnya akses terhadap jaminan kesehatan dan pendidikan. Dalam peringatan HAN 2024, persoalan dampak negatif internet termasuk yang mendapat sorotan.
Di dunia digital sekarang, anak-anak berhadapan dengan dampak negatif teknologi, seperti kecanduan internet, kejahatan online, dan kekerasan seksual di dunia maya.
Melihat berbagai fakta ini, tentu kita layak mempertanyakan tema HAN ke-40 ini, sejauh manakah negara mampu memberikan perlindungan pada anak Indonesia? Setiap tahun HAN diperingati, tetapi setiap tahun pula persoalan anak bertambah, tidak terselesaikan.
*Persoalan Anak Masalah Sistemis*
Mengapa negara gagal memberikan perlindungan pada anak? Banyak pihak mencoba menganalisis faktor penyebab munculnya persoalan anak. Umumnya pihak-pihak terkait menuding kemiskinan, pola asuh, lingkungan (keluarga, masyarakat, dan sekolah), budaya, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan, menjadi faktor terjadinya berbagai masalah anak.
Pembahasan faktor yang memunculkan persoalan anak selalu terhenti di sini. Tidak ada yang membahas bahwa semua persoalan tersebut pada dasarnya adalah kegagalan negara dalam melindungi anak Indonesia.
Tidak ada upaya untuk menelaah lebih dalam, peran negara yang minimalis dalam sistem kapitalisme berimplikasi besar dalam memunculkan kemiskinan, disfungsi keluarga, merebaknya tayangan merusak atau buruknya implementasi hukum.