Oleh. Irohima
(Pegiat Literasi)
Lagi-lagi kaum perempuan kembali didorong terlibat sebagai penggerak ekonomi negara untuk menutupi kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Banyaknya persoalan yang mendera kaum perempuan saat ini tak menghentikan berbagai upaya untuk mengeksploitasi mereka dengan dalih apresiasi terhadap kaum perempuan serta mewujudkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam aspek pekerjaan. Sungguh miris, nilai perempuan dilihat dari seberapa banyak dia bisa menghasilkan cuan dan kemandirian finansial.
Dalam acara The 2nd UN Tourism Regional Conference on the Empowerment of Women in Tourism in Asia and The Pacific di Bali, konferensi tersebut membahas tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang pariwisata. Badan khusus PBB yang memiliki misi mempromosikan pariwisata menyatakan bahwa perempuan bisa berperan besar dalam upaya memajukan pariwisata. Angela Tanoesoedibjo, selaku wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga menyebutkan bahwa kaum hawa memiliki peran penting dalam bisnis pariwisata.
Hal senada juga diungkapkan oleh Director of the Regional Department for Asia and Pasiific UN Tourism, Harry Hwang yang menyebut bahwa agenda 2030 PBB untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan kode etik pariwisata global akan memastikan bahwa sektor pariwisata akan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam berkontribusi terhadap pencapain kesetaraan gender, dan Harry pun berharap dengan adanya konferensi tersebut, dapat mendobrak hambatan bagi generasi mendatang dan menginspirasi serta menarik generasi muda khususnya perempuan untuk berkarir dalam dunia pariwisata (Suara, 02/05/2024).
Kesetaraan gender kemudian menjadi isu yang penting untuk diwujudkan dengan berbagai upaya termasuk mendorong keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pariwisata. Ini adalah bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Negara diarahkan untuk mengembangkan sektor nonstrategis seperti pariwisata sementara sektor vital seperti SDA justru dikuasai oleh swasta ataupun asing. Padahal perbandingan antara keduanya sangat timpang. Pendapatan negara yang berasal dari pariwisata sangat jauh dari kata cukup. Tapi sayang, hingga kini kita selalu saja berkutat pada hal yang remeh temeh dan mengabaikan hal besar (sektor strategis) seperti SDA yang bisa menjadi sumber pendapatan negara yang hasilnya lebih dari cukup untuk membiayai segala keperluan negara dan rakyat.
Mendorong perempuan untuk terlibat dalam pergerakan perekonomian negara dengan dalih pemberdayaan perempuan ataupun upaya mewujudkan kesetaraan gender hanyalah siasat sistem kapitalisme untuk menutupi kegagalannya dalam meriayah dan mensejahterakan rakyat.
Upaya tersebut justru merusak fitrah perempuan dan akan membahayakan nasib anak-anaknya. Keluarnya perempuan untuk bekerja membuat peran dan tanggung jawab sebagai istri dan seorang ibu akan hilang. Anak-anak menjadi tak terurus, kehilangan kasih sayang dan perhatian dan tertukarnya peran antara suami dan istri.
Seorang ibu ibarat sebuah jantung dalam sebuah rumah, bisa dibayangkan kerusakan demi kerusakan yang akan terjadi jika seorang ibu lebih memilih keluar bekerja dari pada menjalankan fitrahnya sebagai perempuan. Dari maraknya tren perempuan yang bekerja di luar rumah, kemudian muncul persoalan anak-anak yang broken home, kenakalan hingga kriminalitas di kalangan anak muda, kasus perselingkuhan, kekerasan hingga perceraian, dan masih banyak lagi.