By : Nurbayah Ummu Tsabitah
Pemerhati sosial dan Generasi
Ratusan massa yang tergabung dalam “Solidaritas Masyarakat Kabupaten PPU” kembali membanjiri halaman Kantor ATR/BPN Penajam Paser Utara (PPU), Selasa (28/5/2024). Massa tersebut terdiri dari warga empat desa lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN), yakni Pemaluan, Rico, Maridan, dan Telemow. Aksi massa ini bertujuan menuntut kejelasan dan keadilan atas hak tanah mereka yang terdampak oleh proyek IKN.
Tuntutan utama dari aksi ini adalah pencabutan status Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan warga, perubahan status lahan dari hak pakai menjadi hak milik, penghapusan Bank Tanah dari PPU, transparansi dalam administrasi dan pencatatan pertanahan, serta penetapan biaya administrasi yang jelas dalam mengurus legalitas lahan dan berbagai tuntutan lainnya. Selain itu, massa aksi menuntut agar ATR/BPN memberikan kejelasan mengenai hak-hak mereka, khususnya di kawasan IKN.
Sepanjang 2023, telah terjadi perampasan ruang hidup rakyat yang telah membawa derita berkepanjangan. Perampasan ruang hidup ini paling sering terjadi di sektor pertambangan, perhutanan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, lahan rakyat dan sekolah-sekolah yang digusur untuk pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan.
Akibat perampasan ruang hidup ini, timbul konflik antara rakyat dan pemerintah-aparat, hingga keamanan rakyat terancam, ada yang dipenjara, bahkan ada yang terbunuh. Akibat konflik ini pula, banyak yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri, kehilangan mata pencariannya, dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja nonformal yang bermigrasi ke kota bahkan ke luar negeri.
Bukan hanya pada 2023 saja, bahkan sejak 2015—2022, data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
Konflik ini nyatanya “wajar” terjadi di dalam sistem politik sekuler demokrasi. Sedangkan sistem yang merupakan sistem buatan manusia ini digadang-gadang dapat menjadi sistem politik yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan kehidupan manusia karena sistem ini dibuat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.
Nyatanya pula, sistem ini justru membawa derita bagi manusia akibat konflik berkepanjangan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, seiring berjalannya waktu, tersebab sistem ini lahir dari akal manusia yang sangat lemah dan terbatas, sistem demokrasi ini mudah sekali dipermainkan dan mengalami pergeseran yang signifikan, yaitu menjadi sistem pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok elitis yang disebutnya sebagai “oligarki”.
Politik oligarki yang berkelindan dengan kapitalisme menjadikan oligarki sebagai pengendali kekuasaan. Sementara itu, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator yang berpihak pada kepentingan oligarki.
Politik oligarki juga melegalkan perampasan hak tanah dan lahan rakyat atas nama pembangunan. Kepentingan para investor diutamakan, sedangkan kewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya diabaikan.
Atas nama pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, investasi swasta lokal maupun asing diutamakan, sedangkan nasib rakyat digadaikan. Nasib perempuan dan anak menjadi taruhan.
Pasal 33 (ayat 3) UUD 1945 pun menjadi sekadar untaian kalimat indah yang tidak pernah terwujud dalam kehidupan. Seperti UU Minerba dan UU 3/2020 tidak memihak pada masyarakat terdampak tambang. Juga UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang telah memuluskan bisnis para pengusaha properti karena rakyat yang memiliki dana bisa membelinya secara kredit. Namun, tetap saja, hanya mereka yang berpenghasilan cukup yang mampu mengakses Tapera. Rakyat miskin tetap saja menderita.
Perampasan ruang hidup yang dilegalkan politik oligarki ini kemudian memberikan dampak langsung yang sangat merugikan kehidupan rakyat. Perempuan dan anak sebagai kelompok rentan harus turut menanggung segala penderitaan. Mereka mengalami tekanan mental, ketakutan, hingga tidak memiliki harapan hidup karena lahan dan ruang hidup mereka dirampas.
Bukan ini saja, akibat perampasan ruang hidup—yang berdalih pembangunan kota, perubahan tata ruang wilayah perkotaan berujung pada tidak terkendalinya banjir dan hilangnya ruang hidup berupa pemukiman, menyebabkan terganggunya kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.
Selain itu, perampasan lahan dan tambang menyebabkan bentang alam berubah dari hutan menjadi perkebunan, menyebabkan bencana alam berupa banjir dan karhutla terus berulang. Karhutla yang terjadi menghasilkan emisi karbon berlebih dan sangat berdampak pada menurunnya kesehatan perempuan dan anak.