By : Dewi Ritno Putri
Reformasi, dulu digaung-gaungkan sebagai jalan pintas untuk revolusi kehidupan negeri ini diberbagai aspek. Namun realitanya berbicara lain. Fakta berbicara reformasi justru menciptakan banyak lobang-lobang tajam yang membuat kehidupan semakin tajam dan curam. Laksana dua mata silet dan tebing, meskipun orang berhati-hati memilah, tetap akan terluka. Apalagi yang sembrono dan bar-bar pemikiran juga tingkah lakunya, tetap akan terluka bahkan terjatuh.
Berharap reformasi bisa memberi angin segar nyatanya cuma menambah cuaca suram masa depan negeri ini yang semakin hari semakin mengalami kemunduran hampir disemua sendi-sendi kehidupan termasuk beragam, akhlak juga moral.
Miris sekali negeri yang didominasi penduduk beragama Islam dengan jejeran pejabat pemerintahan juga beragama Islam tapi penistaan agama Islam terus menerus berlangsung dan seperti sengaja dibiarkan untuk menciptakan kekisruhan dan polemik berkepanjangan yang seakan tiada ujung.
Tentu kita tidak lupa dengan kasus yang pernah viral di tahun 2016 lalu, dari mulut seorang mantan gubernur DKI Jakarta, melecehkan salah satu surah dan ayat Al Qur’an tentang pemilihan pemimpin sebagai “surah yang membohongi masyarakat”, dia berhasil menciptakan provokasi juga framming seakan-akan Islam adalah agama yang keras, fanatik, intoleran juga kaku sebab umatnya dilarang memilih pemimpin yang bukan dari umat Islam. Akibat dari statemennya tersebut muncul berbagai protes dan tuntutan agar ia dihukum. Menjalani proses yang sengaja dibuat ribet instansi hukum, dia memang dihukum, tapi sayang ecek-ecek saja. Nyatanya walau menjalani hukuman kurungan kurang lebih dua tahun, dia tetap bisa menikmati hidup dengan baik. Makan kenyang, tidur nyenyak bahkan jalan-jalan.
Selanjutnya juga muncul kasus yang serupa, penghinaan terhadap Nabi Besar dan Agung, Muhammad Saw oleh anonim-anonim dari luar juga dalam negeri. Hanya ramai diperdebatkan dan dihujat, nyatanya pelaku tetap lolos dari hukum. Bahkan yang lebih menggelitik lagi, pernah terjadi di negeri ini, seorang yang mengkritik presiden langsung disenyapkan sedangkan yang terang-terangan melecehkan Rasulullah Muhammad Saw, sama sekali tidak dihukum hanya karena dia anak dari seorang pejabat pemerintahan yang dekat dengan pemimpin negara ini. Lucunya, pembully presiden dihukum karena dianggap radikal, oposisi berbahaya, berpotensi membahayakan presiden dan negara hingga pelaku dihukum dengan tuntutan pasal berlapis. Sedangkan penghina Nabi Muhammad Saw dibiarkan saja. Hal ini secara langsung menunjukan kepada masyarakat bahwa derajat presiden lebih tinggi dan mulia daripada sang Nabi Allah. Presiden harus dibela seburuk apapun penampilan juga tindak tanduk juga peraturan yang dibuatnya.
Dampaknya bikin darah rendah jadi tinggi karena hal tersebut. Menjadikan agama juga kitab suci lebih rendah dari undang-undang negara dan pemimpin negara lebih tinggi daripada Nabi dan Rasul, pelecehan/penistaan terhadap agama Islam terus berlangsung sampai sekarang. Dan yang selalu jadi sasaran adalah KITABULLAH, AL QUR’AN UL KARIIM. Berpikir sangat sempit tapi keji, sekarang banyak orang berani melecehkan Al Qur’an di berbagai negara. Mulai dari membakar, meludahi, mengencingi, menginjak, mengoyak, menuntut perevisian surah-surahnya terutama permintaan penghapusan ayat-ayat yang dianggap radikal dan intoleran, namun yang terburuk adalah memperjual belikan bahkan sengaja memilintir ayat-ayat suci Al-Qur’an demi kepentingan kampanye-kampanye pemilu juga pilkada.
Tak berhenti di situ. Penistaan terhadap Islam terus menggurita diiringi opini-opini penyesatan pada masyarakat. Para ulama dan habaib juga tak luput dari perbuatan keji ini. Entah sudah berapa banyak ulama dan para habaib didiskriminasi dan dikriminalisasi selama lebih dari satu dekade ini. Dianggap berbahaya dan membahayakan oknum-oknum pemerintahan, mereka dibuihkan bahkan sampai dirampas hartanya. Bahkan seorang menteri agama yang semestinya menjaga dan melindungi agama juga beberapa kali melakukan pelecehan lewat statement pribadi atau kenegaraan atas nama toleransi. Jika begini, bagaimana rakyat tidak meniru?