Beberapa hari terakhir publik dihebohkan dengan video seorang laki-laki menginjak-injak Al-Qur’an saat sedang bersumpah di hadapan istrinya. Lagi dan lagi, penistaan agama berulang di negeri ini. (Tribunnews, 18/05/2024)
Beberapa waktu sebelumnya pun berulang terjadi penistaan agama dengan beragam model, seperti memelesetkan lafaz taawudz oleh seorang Tiktokers, praktik shalat yang tidak sesuai ajaran syariat dimana seorang jemaah wanita sholat bercampur dengan jemaah pria. Bahakan, jauh sebelumnya ada seorang wanita bernama Lia Eden mengklaim telah menerima Wahyu dari malaikat Jibril dan mengaku telah mendapatkan pengikut lewat kerajaan takhta suci kerajaan Tuhan yang ia bangun. Tindakan Lia Eden ini terbukti sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sungguh ironi, di negeri mayoritas penduduknya beragama Islam justru subur penistaan terhadap agama mayoritas ini.
Di Indonesia, sanksi sebagai upaya untuk menindak pelaku penistaan agama telah ada dalam undang-undang. Pelaku penistaan akan dikenai sanksi jika terbukti bersalah, berupa penjara 5 tahun dan jika penistaan secara tertulis atau melalui media elektronik, pelaku akan mendapatkan hukuman penjara 6 tahun. (Iblam ac id)
Namun, usaha tersebut hingga kini masih belum memberi efek jera, sehingga pelaku penistaan agama kembali berulang bahkan tumbuh subur dengan pelaku yang berbeda.
Sanksi yang diberikan negara belum memberikan efek jera bagi pelaku dan belum membuat orang lain merasa enggan melakukan tindakan serupa. Hal ini dipicu kebebasan berperilaku dan berpendapat yang dianutg oleh masyarakat dalam sistem kapitalisme saat ini. Undang-undang yang ada baru diterapkan dengan proses yang cukup lama untuk membuktikan pelaku melakukan penistaan agama atau tidak, karena tolak ukur penistaan masih perlu diteliti terlebih dahulu.