Opini

Pengelolaan Zakat dalam Sistem Islam

115

Zakat menurut syariat Islam merupakan salah satu ibadah dan rukun Islam, seperti shalat, puasa, dan haji. Hukumnya adalah fardu ‘ain bagi setiap muslim yang memiliki harta tertentu dengan batas nisab (batas minimal harta yang wajib dikeluarkan zakat), dan haul (harta tersebut telah dimiliki selama satu tahun). Kecuali untuk harta hasil pertanian, kewajiban zakat dikeluarkan saat panen. Ragam jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya pun telah ditetapkan berdasarkan nas-nas syarak, dan tidak bisa dikiaskan dengan jenis harta lainnya. Karena itu, penambahan ragam jenis harta, seperti penghasilan dan jasa, barang temuan, perikanan, zakat perusahaan dan industri, sebagaimana saat ini  yang ditetapkan dalam UU 23/2011, tidak dibenarkan secara syariat.

Allah Swt. telah menetapkan delapan asnaf sebagaimana dalam firman Nya:

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana.” (QS At Taubah: 60)

Ayat ini menegaskan bahwa penyaluran zakat hanya dikhususkan pada delapan golongan sebagaimana yang disebutkan. Harta zakat tersebut dikumpulkan oleh amil zakat dan disimpan di Baitulmal. Amil zakat di sini bukanlah lembaga sebagaimana Baznas saat ini. Kemudian akan didistribusikan kepada delapan golongan tadi.

Penguasa tidak boleh mendistribusikan harta zakat pada selain delapan golongan, harta zakat juga tidak boleh digunakan untuk membangun infrastruktur, seperti membangun jalan, sekolah, masjid, rumah sakit, dan lain sebagainya. Apalagi dijadikan sarana untuk pemberdayaan ekonomi, juga solusi atas permasalahan perekonomian rakyat termasuk mengentaskan kemiskinan. Negara wajib untuk menyejahterakan rakyatnya dengan mekanisme pendanaan yang telah syariat tetapkan,  yaitu dengan mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimiliki secara mandiri, tanpa melibatkan pihak swasta atau asing. Pemerintah dapat membuka lapangan kerja seluas luasnya, hasil dari pengelolaan SDA pun akan digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan umat.

Dengan demikian tampak jelas sekali perbedaan antara pengelolaan zakat di dalam sistem Islam dan paradigma kapitalis. Oleh karena itu menerapkan kembali Islam kafah adalah sebuah kebutuhan, agar pelaksanaan ibadah maliyah umat terlaksana sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Wallahu a’lam bi ash shawab.

Exit mobile version