Oleh Ummu Muthya
Ibu Rumah Tangga
Pasar Sehat Cileunyi (PSC) yang berada di Kabupaten Bandung saat ini sedang sakit karena terdapat gunungan sampah di sejumlah titik. Padahal para pedagang mereka rutin membayar retribusi sampah. Yang paling parah di dua titik, yang nyaris menutupi jalan setinggi kios dan bau yang menyengat. Menurut salah satu pedagang yakni Suryana (45) penyebab penumpukan itu karena telat pengangkutan, ditambah banyak sampah yang dibuang ke PSC dari warga luar bukan pedagang.
Rana Supriatna, Kepala UPT Kebersihan Cileunyi, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung mengakui jika sampah di PSC kembali menggunung, sebab pengelola PSC tidak mau bekerjasama. (Bandung.net 20/9/2024)
Berbeda dengan kondisi di wilayah Cileunyi, Bupati Bandung Dadang Supriatna justru melakukan kunjungan kerja ke lokasi pembangunan TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuce, Reduce, Recycle) wilayah kantor Kelurahan Rancaekek Kencana, Kecamatan Rancaekek, yang merupakan tempat Pengelolaan Sampah OK yang digagas Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Bandung.
Dadang Supriatna berharap dengan dibangunnya TPS3R bisa menjadi contoh bagi desa dan kelurahan yang lain. Inovasi yang dilakukan DPUTR bukan hanya menanggulangi sampah organiknya saja, namun ada juga pola hilirasinya. Antara lain dengan budidaya tanaman buah anggur maupun sayuran, yang media tanamnya berasal dari kompos hasil program Bedas OK. (Kompas.tv.17/9/2024)
Menumpuknya sampah selain merusak pemandangan dan menimbulkan bau tidak sedap, tentu akan membuat lingkukan tidak sehat, kotor, memicu berbagai macam penyakit bagi penghuni setempat baik manusia, hewan, maupun yang lainnya.
Dalam masalah sampah butuh sinergi semua pihak baik indivdu, pedagang, pengembang dan yang utama adalah pemerintah (negara) karena ia yang memiliki wewenang dalam menyusun kebijakan juga mendukung pengolahan sampah termasuk penyediaan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, dengan sistem pemilihan sampah di sumbernya dan memberikan insentif untuk industri daur ulang.
Masalah sampah memang belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat. Meskipun sejumlah LSM dan gerakan sosial yang fokus pada masalah lingkungan telah berupaya keras merumuskan sejumlah gagasan, langkah, dan ide untuk menanggulangi sampah namun, problem sampah seolah tiada akhir.
Karena itu, program pemerintah mengupayakan pembangunan TPS3R sebagai pilot project yang diharapkan bisa menanggulangi sampah khususnya sampah organik cukup bagus, meskipun penyebab menumpuknya sampah bukan hanya sampah organik, tapi juga nonorganik seperti plastik, styrofoam, kantong kresek, kaleng, dan lain-lain. Ditambah sampah elektronik yang semakin menambah banyaknya sampah. Karena itu, pemerintah harus juga memikirkan cara untuk mengelola semua sampah tersebut.
Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan sampah menumpuk salah satunya gaya hidup konsumtif yang berkembang di tengah masyarakat. Ini dipicu oleh pemahaman sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang merupakan akidah kapitalisme. Ketika telah diadopsi oleh masyarakat, maka memunculkan perilaku masyarakat yang gila belanja, buang sampah sembarangan dan mengabaikan kebersihan lingkungan, termasuk pelaku industri dan produsen makanan.
Masyarakat kapitalistik sulit memilah yang mana kebutuhan, dan mana keinginan. Karena dalam pandangan kapitalisme, apa pun yang manusia butuh harus dipenuhi tanpa kecuali. Jika prinsip tersebut dalam realitas peningkatan volume sampah, konsumerisme yang kian menggejala jelas berdampak langsung pada lingkungan.
Kondisi tersebut diperparah dengan abainya pemerintah dalam industri agar tidak boros sumber daya mengawasiatau memproduksi bahan nonorganik yang berbahaya bagi lingkungan. Penguasa hanya fokus pada upaya perolehan pajak yang besar dari industri dan menggenjot produksi demi tingginya PDB (Produk Domestik Bruto).
Pemerintah berupaya mengeluarkan kebijakan uji coba untuk mengurangi plastik, bekerja sama dengan swalayan, dengan cara mengenakan biaya dua ratus rupiah bagi konsumen, jika ingin mengunakan kantong plastik barang belanjaannya. Selain itu pemerintah bekerja sama dengan para pengusaha masyarakat dari berbagai instansi. Namun solusi tersebut gagal, karena menuai perdebatan. Karena solusi ini tidak menyentuh akar persoalan yakni akibat penerapan sistem kapitalisme oleh negara.