Opini

Penerimaan Pajak Naik, Rakyat Kian Tercekik

315
×

Penerimaan Pajak Naik, Rakyat Kian Tercekik

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty

(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

“Kita semua mengetahui bahwa untuk bisa terus menjaga Republik Indonesia, membangun negara ini, negara dan bangsa kita, cita-cita yang ingin kita capai, ingin menjadi negara maju, ingin menjadi negara yang sejahtera, adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa penerimaan pajak suatu negara,” kata Sri Mulyani dalam sambutannya di acara Spectaxcular 2024, di GBK, Jakarta, Minggu (14-07-2024). (Liputan6.com, 14-07-2024).

Berdasarkan data dari Kemenkeu, penerimaan pajak mengalami tren yang naik. Pada 1983 penerimaan pajak di Indonesia Rp13 triliun, sedangkan pada era reformasi menjadi Rp400 triliun. Setelah reformasi, penerimaan pajak naik hingga hampir lima kali lipat. Bahkan, pada 2024 penerimaan pajak ditargetkan Rp1.988,9 triliun.

Bangga dan malu seakan tak ada bedanya. Sejahtera dengan pajak, jargon yang menunjukkan negara sejahtera dengan malak. Bagaimana tidak, hampir seluruh sendi kena pajak. Baik yang terkait dengan sandang, pangan maupun papan. Miskin kaya tak luput dipungut.

*Narasi Pajak Tabiat Pemalak*

Narasi pajak bukanlah kezaliman, melainkan sebuah keniscayaan, bahkan kemestian yang perlu didukung oleh rakyat dengan penuh pengertian dan kebahagiaan, narasi yang semakin gencar diopinikan. Dari waktu ke waktu, negara semakin getol menggenjot sektor pajak yang sumber utamanya tentu dari rakyat.

Segala cara dilakukan demi meyakinkan bahwa pajak adalah kebaikan, perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Pamer-pamer naiknya pajak pun menjadi ajang pencitraan untuk mengambil hati rakyat atas kontribusi pajak yang diserahkan pada negara.

Suatu hal.yang wajar, mengingat sektor pajak merupakan andalan utama yang men-support lebih dari 80% pos penerimaan negara. Data BPS 2023 menunjukkan, dari Rp2.443,187 triliun penerimaan negara, penerimaan dari pajak mencapai Rp2.016,923 triliun. Sisanya berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Antara menyedihkan dan memalukan. Sistem di negeri ini seakan tudak punya cara lain untuk mengisi kas negara selain dengan menarik pajak dari rakyat. Segala cara dilakukan untuk menarik uang rakyat. Sektor jasa layanan publik, serta kegiatan usaha kecil pun tak bisa mengelak dari pungutan-pungutan pajak. Bagai tabiat pemalak, sistem di negeri ini membabi buta tarik sana sini uang rakyat.

Bayangkan, sejak tahun 1983, saat pemerintah melaksanakan reformasi perpajakan dengan memberlakukan lima undang-undang perpajakan melalui Reformasi Sistem Perpajakan Nasional (PSPN): Peraturan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasian (PPh), PPN dan PPnBM, PBB dan PPnBM. pajak materai. (BM). Di mana pada tahun tersebut, penerimaan pajak hanya Rp 13 triliun. Kemudian, penerimaan pajak terus merangkak naik menjadi Rp 400 triliun pada era reformasi, yakni pada tahun 1999 atau tahun 2000. Lalu sekarang, penerimaan pajak dari UU APBN 2024 ditargetkan sebesar Rp1.998.9 triliun. Angka fantastis bukan? Siapa korbannya? Tentunya rakyat. Karena rakyat lah yang menjadi objek pajak. Tabiat apa yang lekat di sistem model ini kalau bukan tabiat pemalak.

Memang pascapandemi pemerintah dituntut fokus mengantisipasi dampak, sekaligus mengejar target percepatan pemulihan ekonomi nasional yang membutuhkan dana sangat besar. Termasuk di antaranya untuk membiayai pembangunan yang jorjoran dilakukan dan diklaim bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, serta untuk membiayai belanja negara lainnya yang jumlahnya juga besar. Belum lagi ada kewajiban yang harus ditunaikan, yaitu membayar utang yang saldonya kian mencengangkan.

Utang pemerintah kembali mengalami peningkatan per akhir April 2024. Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), utang pemerintah hingga 30 April 2024 tercatat Rp 8.338,43 triliun. Secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp 76,33 triliun atau meningkat sekitar 0,92% dibandingkan posisi utang pada akhir Maret 2024 yang sebesar Rp 8.262,1 triliun. (kontan.co.id, 31-07-2024).

Sayangnya, dalam sistem sekuler kapitalisme neoliberal, kemenkeu menyatakan, rasio utang yang tercatat per akhir April 2024 ini masih di bawah batas aman 60% PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara serta lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2024-2027 di kisaran 40%. Itulah sebabnya pemerintah tidak sungkan terus menambah utang, bahkan merasa bangga dan berprestasi jika berhasil menarik investasi alias menambah jumlah utang luar negeri. Walhasil, pembayaran utang luar negeri yang terus membengkak ini pada akhirnya tetap menjadi beban rakyat melalui penarikan pajak yang tiada henti.

*Kapitalisme Melumrahkan Pemalakan*

Sungguh, memalak rakyat dengan berbagai kebijakan pajak, yang sejatinya merupakan kezaliman, menjadi lumrah saja dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Asas kebebasan yang mendasari sistemnya memang memberi peluang besar bagi yang kuat modal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Dengan kekuatan modal kekuasaan disetir agar kebijakan-kebijakan negara melegitimasi kerakusan para oligarki.

Sangat wajar karena sistem yang berlaku saat ini jauh dari nilai-nilai spiritual dan moral, apa pun menjadi halal. Belum lagi di tataran penguasa yang hanya berperan sebagai regulator. Alih-alih sebagai pengurus dan penjaga umat, yang terjadi antara rakyat dengannya sarat hitung dagang.

Selama rakyat bisa membayar semua layanan, penarikan harta rakya sah-sah saja. Jika tidak bisa membayar, rakyat lainnya dipaksa menanggung, Pajak dan program-program jaminan sosial, dengan dalih kemandirian masyarakat ataupun proyek swadaya dan gerakan membantu sesama, menjadi program yang dipaksakan pada rakyat agar keran cuan tetap mengalir pada pundi negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *