Oleh Ummi Nisaa
Pegiat Literasi
Tahun ini, sudah 79 tahun Indonesia merdeka. Namun kesejahteraan rakyat belum merata, kesenjangan pembangunan antar desa dan kota masih tampak nyata.
Kini pemerintah berharap pembangunan desa dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah. Hal ini disampaikan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta. Ia menegaskan bahwa pembangunan desa menjadi penyeimbang untuk memangkas jurang perbedaan antara kehidupan di perkotaan dan pedesaan. (antaranews.com, 31 Juli 2024)
Upaya pembangunan desa sejatinya telah dimulai sejak sepuluh tahun yang lalu. Gagasan membangun dari pinggiran (desa) telah diimplementasikan melalui dua strategi utama, yakni investasi publik besar-besaran di wilayah pinggiran, khususnya melalui program dana desa. Selain itu, melalui investasi swasta dan publik untuk membuka konektivitas antar wilayah melalui pembangunan prasarana dan sarana transportasi. Strategi itu, antara lain, didukung pendanaan hasil dari realokasi APBN dari yang sebelumnya banyak tersedot ke subsidi BBM menuju penggunaan untuk pembangunan infrastruktur.
Meski secara kasat mata kita dapat melihat hasilnya pembangunan infrastruktur demikian jor joran, tetapi jika mengukur angka kemiskinan di perdesaan konsisten lebih tinggi daripada angka kemiskinan di perkotaan. Mengutip data badan pusat statistik atau BPS per-Maret 2024 yang mencatat persentase angka kemiskinan di desa mencapai 11,79% jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan sebesar 7,09%. Ini artinya pembamgunan sarana dan prasarana belum berimplikasi pada kesejahteraan rakyat pedesaan, justru dengan banyaknya pembangunan jalan tol yang mengambil alih lahan pertanian. Hal ini menjadikan mata pencaharian petani di desa semakin menurun.
Selain itu, kemiskinan, minimnya fasilitas di pedesaan, standar hidup yang rendah, dan sulitnya mencari pendapatan di desa mendorong urbanisasi terus terjadi. Terlebih pasca lebaran. Hal ini membuktikan masih adanya kesenjangan tersebut. Demikian pula desa tertinggal dan desa sangat tertinggal masih banyak. Ditambah dalam sistem demokrasi hari ini, maraknya korupsi termasuk dana pembangunan desa banyak dilakukan oleh pejabat desa. Tak ayal pemerataan pembangunan desa hanya ilusi.
Sistem desentralisasi yang diterapkan juga mengakibatkan tidak meratanya pembangunan desa. Sebab sistem ini menjadikan pemerintah pusat berlepas tangan atas pembangunan yang terjadi di desa. Setiap desa didorong untuk mencari sumber pemasukan secara mandiri untuk dipergunakan membangun desa. Padahal kemampuan dan potensi ekonomi yang tersimpan di desa tentu berbeda-beda. Memang negara tidak sepenuhnya lepas tanggung jawab, sebab memang ada program dana desa yang seolah merupakan bentuk perhatian pemerintah pusat ke desa-desa di berbagai pelosok negeri. Namun dibalik itu semua ternyata tersimpan motif neoliberalisasi ekonomi khususnya melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis negeri ini.
Semua ini akibat penerapan sistem kapitalisme sekuker. Negara dalam sistem ini berpijak pada kepentingan dan keuntungan materi. Karena itu, program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa didasarkan pada untung dan rugi. Maka tak heran kita menemukan ada desa yang mendapat perhatian lebih, karena sumber daya alam yang banyak sebagai potensi ekonomi yang dimiliki desa tersebut. Mirisnya sumber daya alam tersebut diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta atau asing, sehingga tidak ada keuntungan yang didapatkan desa kecuali sangat sedikit.