Sari Setiawati
Saat ini pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) masih belum rampung karena terkendala dengan besaran dana yang dibutuhkan. Pembangunan IKN yang sejak awal terkesan sangat dipaksakan, mengingat kondisi ekonomi negeri ini yang belum pulih pasca pandemi, dalam pemenuhan dana pembangunannya, akhirnya diambil jalan melalui penandatanganan Perpres (peraturan presiden) Nomor 75 Tahun 2024, pada 11 Juli 2024, tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Perpres tersebut mengatur rentang waktu Hak Guna Usaha (HGU) di IKN untuk para investor, yaitu sampai 95 tahun dan bisa diperpanjang sampai 95 tahun lagi, total 190 tahun. Harapannya, Perpres tersebut akan mengundang kehadiran investor asing di IKN yang masih nihil.
Perpres ini jelas bertabrakan dengan sejumlah aturan dan dapat mengancam kedaulatan negara. Seharusnya, kesejahteraan rakyat lebih diutamakan dibandingkan membangun IKN dan mengundang investor dalam pembangunannya.
Apalagi ketika para investor tersebut diberi HGU (Hak Guna Usaha) yang begitu panjang, dengan alasan untuk memberikan kepastian dalam berinvestasi. Hal ini disampaikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Agus Harimurti Yudhoyono. Sebagaimana diketahui, Pemerintah akhirnya mengakui bahwa IKN sampai hari ini masih gagal mengundang investor asing. Ini bertolak belakang dengan gembar-gembor yang pernah menyatakan investor sudah antri masuk IKN. Penyebab investor belum mau masuk ke IKN bukan semata persoalan HGU, namun karena kondisinya yang masih jauh dari selesai. Bahkan diakui oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, klaster pertama IKN saja belum selesai 100 persen. Klaster pertama ini mencakup kawasan inti pemerintahan, seperti presiden dan wakil presiden, lembaga tinggi negara. Sebab itu pula Presiden Jokowi tidak jadi berkantor di IKN pada Juli ini karena kondisinya jauh dari layak; minim air, listrik, dsb. Padahal awalnya Pemerintah begitu percaya diri kalau Presiden akan pindah kantor ke IKN pada bulan Juli tahun ini.tapi kenyataannya jauh dari kata rampung(selesai).
Dampak pemberian HGU sepanjang 190 tahun yang ditujukan untuk mengundang investor tentu mengandung sejumlah persoalan dan ancaman untuk negeri ini. Pertama: Perpres ini sudah melanggar Konstitusi. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan Perpres 75/2024 Pemerintah telah melanggar dua dasar hukum; yakni UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang pemberian hak tanah kepada investor. UU Agraria mengatur HGU maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 25 tahun jika memenuhi syarat. Kedua: Peraturan ini lebih buruk dari aturan kolonial. Pada era penjajahan di tanah air saja, UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) hanya memberikan hak kepada investor mengelola perkebunan paling lama 75 tahun. Akibatnya, segala kekayaan alam yang berada di lahan tersebut tidak bisa dimanfaatkan rakyat.
Sedangkan lahan Menurut Islam memiliki hukum tersendiri mengenai lahan. Pertama: Tanah termasuk ke dalam harta yang dapat menjadi milik pribadi (milkiyyah fardiyyah). Hukum Islam mengizinkan individu memiliki lahan baik untuk hunian, tempat usaha, sawah, ladang, juga perikanan dan peternakan. Setiap warga negara Muslim ataupun kafir berhak memiliki lahan baik secara zatnya maupun sekadar hak guna usahanya. Kedua: Negara Islam punya otoritas untuk membagikan lahan kepada rakyat, baik menjadi hak milik pribadi maupun hanya berupa HGU. Selanjutnya Negara Islam akan mengawasi pengelolaan lahan yang dimiliki warga. Penelantaran lahan selama tiga tahun oleh pemiliknya secara otomatis menjadikan status kepemilikannya batal atas lahan tersebut. Ketiga: Nabi saw. telah melarang lahan pertanian untuk disewakan. Keempat: Lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat karena mengandung bahan tambang atau mata air berlimpah yang menjadi kebutuhan publik statusnya menjadi milik umum (milkiyyah ’am(milkiyyah fardiyyah). Hukum Islam mengizinkan individu memiliki lahan baik untuk hunian, tempat usaha, sawah, ladang, juga perikanan dan peternakan. Setiap warga negara Muslim ataupun kafir berhak memiliki lahan baik secara zatnya maupun sekadar hak guna usahanya. Kedua: Negara Islam punya otoritas untuk membagikan lahan kepada rakyat, baik menjadi hak milik pribadi maupun hanya berupa HGU. Selanjutnya Negara Islam akan mengawasi pengelolaan lahan yang dimiliki warga. Penelantaran lahan selama tiga tahun oleh pemiliknya secara otomatis menjadikan status kepemilikannya batal atas lahan tersebut. Ketiga: Nabi saw. telah melarang lahan pertanian untuk disewakan. Keempat: Lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat karena mengandung bahan tambang atau mata air berlimpah yang menjadi kebutuhan publik statusnya menjadi milik umum (milkiyyah ’ammah). Lahan semacam ini dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan pada swasta dan asing. Ini berdasarkan sabda Nabi saw.” Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api”. Kelima: Islam memerintahkan negara untuk mencegah praktik imperialisme oleh asing melalui jalan penguasaan lahan, baik secara perorangan, korporasi maupun negara. Penguasaan lahan selama hampir dua abad oleh pihak asing yang berpotensi besar menghilangkan kedaulatan negara adalah haram. Walhasil, kebijakan Pemerintah memberikan HGU kepada pengusaha asing selama 190 tahun adalah kebijakan khas ideologi Kapitalisme.