Oleh : Siti Hadijah S.Pdi
Pemerhati Kebijakan Publik
Ratusan warga mendatangi kantor PT PLN UP3 Berau, pada Rabu ( 18/9/2024 ) tengah malam di Jalan SA Maulana , akibat mati listrik berkepanjangan.
Aksi ini merupakan buntut pemadaman listrik hampir 6 jam, mulai pukul 17.00 sampai pukul 00.39 WITA.
Massa mengultimatum PT PLN UP3 Berau, agar segera mengakhiri pemadaman. Meski pihak perusahaan listrik tersebut telah mengonfirmasi, bila pemadaman terjadi lantaran terdapat kerusakan mesin di PLTD Sambaliung.
Massa juga menilai, bahwa direktur PT PLN UP3 Berau, memberikan informasi bohong.Sebab sebelumnya, telah memastikan bila Berau surplus daya sebesar 6 Megawatt.( KALTIM TODAY , 18/9/2024)
Indonesia adalah salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia. Cadangannya mencapai 38,84 miliar ton dan masih bisa di gunakan hingga 500 tahun mendatang.
Kepemilikan batu bara sebagian besar dikuasai swasta. Walau sudah ada paksaan dari pemerintah untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri dengan harga murah, tetap saja namanya swasta pastinya profit otiented. Mereka lebih senang mengekspor batu bara sebab harga jualnya lebih tinggi.
Begitu pula dengan PLTD yang berbahan bakar solar dan PLTG yang berbahan bakar gas alam. Pada kenyataannya , kepemilikan minyak bumi dan gas di negeri ini pun hampir keseluruhannya dimiliki asing.
Liberalisasi Energi
Kepemilikan energi yang makin dikuasai swasta tidak lepas dari upaya liberalisasi yang terus dipaksakan diterapkan di negeri ini. pemerintah bahkan merederegulasi aturan untuk makin mempermudah swasta menguasai SDA termasuk energi. Sebut saja UU Omnibus Law Cipta Kerja yang makin memberikan keuntungan pada pelaku usaha swasta dan merugikan negara.
Misalnya pada Pasal 128 A UU Cipta Kerja No. 11/2020 pengganti UU Minerba. Dijelaskan didalaminya bahwa pelaku usaha yang bisa meningkatkan nilai tambah batu bara akan mendapatkan perlakuan istimewa berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Sedangkan selama ini royalti masuk sebagai pendapatan daerah melalui mekanisme dana bagi hasil.
Liberalisasi energi ini sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang kapitalistis, yaitu pemerintahan yang menyerahkan seluruh urusan rakyatnya pada swasta, termasuk mengelola SDA. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang kerap berat sebelah. Maksudnya berat sebelah adalah karena sering kali pemerintah malah berada di barisan korporasi saat ada sengketa rakyat versus korporasi.
Pada Pasal 162 UU Minerba No.3/2020 disebutkan masyarakat yang mencoba mengganggu aktivitas pertambangan dalam bentuk apapun, bisa dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, bahkan denda 100 juta rupiah. Aturan ini sungguh mengikis rasa keadilan di tengah masyarakat. Justru yang terjadi adalah kriminalisasi oleh perusahaan terhadap masyarakat di wilayah pertambangan yang mereka menolak daerahnya di eksploitasi.