Opini

Partisipasi Menyambut Nataru, Islam No Kompromi

111
×

Partisipasi Menyambut Nataru, Islam No Kompromi

Sebarkan artikel ini

Oleh Fujiati

Aktivis Muslimah

Tidak terlepas dari sejarah asal usul kemunculan Natal dan Tahun baru, yang pasti opini toleransi beragama selalu dibenturkan dengan moment tersebut. Seruan dari tataran pimpinan negara, kementrian dan pimpinan daerah direspon secara masif yaitu terbukti dengan terwujudnya berbagai acara di tengah-tengah masyarakat. Seperti Pemprov DKI Jakarta melalui Disparekraf menyelanggarakan kidung natal, atraksi menarik dan pasar kreatif selama bulan Desember. Presiden RI, juga menghadiri puncak Natal yang diadakan di GBK Jakarta pada tanggal 28 Desember 2024 bersama Mentri Dalam Negeri Tito Karnavian. Bahkan sebelumnya dukungan langsung dari Wapres Ri Gibran dengan berkunjung ke GKI Jakarta untuk memastikan perayaan Natal berjalan baik dan bagi-bagi kado natal untuk para remaja GKI.

Fakta tersebut adalah bukti bahwa bentuk “toleransi beragama”  yang kebablasan. Toleransi yang direpresentasikan oleh pemerintah kepada umat agar dijadikan standar baru/tolak ukur dalam menjalankan toleransi beragama. Bentuk “toleransi beragama” bersifat partisipastif inilah yang sebenarnya menjadi agenda program “moderasi  beragama” yang digencarkan oleh pemerintah. Padahal konsep tersebut jauh dari standar syariat Islam.  Tanpa disadari kaum muslimin  terpaksa ataupun suka rela akan berpartisipasi menyemarakkan dan mempersiapkan segala atribut natal dan tahun baru. Misalnya ikut-ikutan mengucapkan selamat natal, memakai atribut/symbol ritual, berkostum ala-ala Sinterklaus,  berkunjung ke gereja dan berbagi-bagi hadiah.

Jelas sekali ketika seorang muslim melakukan aktivitas perayaan ajaran agama selain Islam adalah penyimpangan yang bersentuhan dengan akidahnya. Perbuatan ini menodai keimanannya kepada Allah Swt. sebagai satu-satunya Sang Khalik (Laillahailallah). Berarti ada pengakuan kepada Tuhan selain Allah Swt., naudzubillah min dzalik.

Perayaan tahun baru beriringan setelah natal ini dirayakan diakhir bulan Desember menuju detik-detik tanggal 1 Januari tahun masehi berikutnya. Sejarahnya dimulai pada abad ke-46 Sm, ketika penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun baru. Januari dinamai menurut nama dewa terutama dewa bermuka dua (melihat ke masa depan dan masa lalu) Janus. Tradisi persembahan kaum pagan kepada dewa Janus dengan cara menyalakan kembang api, mengitari api unggun dan bernyanyi bersama bahkan di beberapa tempat lain menandainya dengan memukul lonceng serta meniup terompet. Termasuk menggunakan topi kerucut, padahal topi tersebut memiliki makna sejarah atas penindasan kaum muslimin di Andalusia. Sumber dikutip dari beritadata.id.

Tradisi tersebut dan simbol-simbol (seperti topi kerucut, terompet, lonceng dan kembang api) dipakai oleh sebagian kaum muslimin untuk menyambut tahun baru masehi. Apalagi di kota-kota besar Jakarta, momet tahun baru identik dengan pesta kembang api, hitung mundur bersama dan berbagai acara hiburan yakni pesta rakyat, bazar dan panggung musik serta atraksi budaya. Tidak menutup kemungkinan umat akan larut dengan bermacam-macam kemaksiatan dan hal buruk lainnya. Meskipun masih ada segolongan umat yang membuat resolusi untuk mengubah kebiasaan buruk tersebut dan memulai kebiasaan baik, seperti halnya mengadakan doa bersama, tasyakuran sebagai upaya membentengi diri agar tidak terjerumus. Namun, pengupayaan ini hanya bersifat individu atau sekolompok saja.

Sangat kontradiksi di mana Indonesia dengan mayoritas penduduknya muslim dan pemimpinnya juga muslim, maka harusnya seruan pemimpin  bersifat ke arah ketakwaan (menguatkan akidah) tapi justru sebaliknya yaitu berupaya melunturkan akidah umat. Harapan pemerintah agar kehidupan harmonis antara umat beragama telah jauh dari kenyataannya, karena negara telah mendiskrimanisikan agama Islam.

Target di Balik Arus Moderasi Beragama

Sesungguhnya umat Islam menjadi target pengarus utamaan moderasi beragama melalui opini “toleransi beragama” (berpartisipasi) versi pemerintah yakni agar melekat pemahaman pluraslime beragama (paham semua agama benar, kebenaran itu relative) pada kaum muslimin sehingga jauh dari ideologi  Islam yang sebenarnya. Akhibatnya umat Islam tidak lagi percaya bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang di ridai Allah Swt. Baik perasaan, aturan dan pemikiran umat yang makin sekuler (memisahkan agama dari urusan kehidupan) dan  liberal (paham kebebasan dalam berprilaku) dengan dipayung hukum HAM serta jauh dari islam yang ideologis.

Hal ini terjadi karena negara telah menjadikan landasan sekuler kapitalis sebagai acuan dalam mengatur urusan umat. Wajar jika segala seruannya, kebijakannya dan aturan apapun fokus pada manfaat dan keuntungan materi semata meski harus bertentangan dengan nilai-nilai agama (syariat Islam). Tak heran jika negara rela mengorbankan akidah umat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *