Oleh. Hany Handayani Primantara, S.P
“All Eyes on Raffah” menjadi slogan viral belakangan ini di media sosial. Gambar dan slogan tersebut menjadi viral setelah serangan udara Israel dan kebakaran yang terjadi di sebuah kamp pengungsi Palestina di Kota Rafah, Gaza selatan, awal pekan ini.
Dikutip dari media online cnbcindonesia.com (11/05/24), hal ini bukan tanpa sebab seruan masyarakat baik Muslim maupun nonmuslim akan dukungan mereka terhadap Palestina merupakan fakta nyata kesadaran umat terhadap kezaliman yang dilakukan oleh Israel. Gelombang demo besar-besaran pun terus meluas. Para akademisi turun ke jalan menunjukkan solidaritas terhadap warga Palestina. Baik dari Amerika Serikat, Eropa, hingga ke Asia. Seluruh mahasiswa unjuk rasa menuntut pemerintah dunia mengambil tindakan tegas agar Israel berhenti melancarkan operasi militernya di Gaza.
Tak elak ini menjadi sebuah fenomena luar biasa. Namun, polisi dunia seakan bungkam dan buta akan kejadian di Raffah. Apapun alasan mereka tetap tak dapat dibenarkan. Tindakan tidak manusiawi, dilakukan tanpa rasa empati. Bukan hanya satu nyawa, satu keluarga atau satu wilayah yang mereka habisi. Sudah tak terhitung lagi nyawa yang melayang dengan beragam cara. Mirisnya ini tetap tak dianggap sebagai aksi terorisme ataupun kejahatan yang harus diadili ditingkat dunia.
Membangun Kesadaran Masyarakat Muslim
Tidak peduli seberapa besar permintaan bantuan berupa pasokan makanan, air bersih dan obat-obatan. Kaum muslim di seluruh penjuru dunia turut membantu dengan harta mereka. Doa pun turut mengiringi kepergian saudara mereka yang syahid tiap detiknya. Doa agar mereka menjadi kuat akan ujian dari Allah yang bisa jadi menghantarkan mereka ke surga. Hal ini menunjukkan bahwa Palestina tak selamanya sendiri. Mereka masih memiliki saudara seakidah. Mereka berempati memberikan segala bantuan yang mampu mereka lakukan. Sebab mereka yakin bantuan sekecil apapun pasti akan sangat berpengaruh besar terhadap rakyat Palestina.
Namun sayang, kesadaran ini tak dimiliki oleh sebagian kecil kaum muslim yang menjadi tetangga Raffah. Mereka Muslim namun mereka tetap bergeming ketika suara bom dari Israel menghantam saudaranya. Mereka menjadi batu ketika teriakan dari kaum Muslim membahana akibat serangan massal. Mereka tak berkutik sedikit pun ketika kaum Muslim berharap bantuan berupa uluran tangan membuka gerbang perbatasan. Rudal-rudal bagai hujan berjatuhan di camp pengungsi, melumpuhkan kaum Muslim serentak dengan satu hentakan saja. Tidak pernahkah mereka berpikir, bagaimana kelak di akhirat ketika Allah bertanya tentang hal ini. Apa yang akan menjadi alasan mereka kelak, ketika dimintai pertanggung jawaban atas diamnya melihat kondisi Palestina.