Oleh Uqie Nai
Member Menulis Kreatif
Permasalahan pajak di negeri ini kerap menuai reaksi serius, baik dari pihak pemerintah maupun rakyat. Dan sudah menjadi rahasia umum jika selama ini negara Indonesia sangat bergantung dari pajak sebagai sumber utama penerimaan negara di samping sumber lainnya seperti penerimaan bukan pajak, utang, penciptaan uang, dan bantuan luar negeri. Namun akhir-akhir ini pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penerimaan pajak mengalami penurunan. Penyebabnya ada beberapa faktor, mulai dari turunnya harga komoditas, bertambahnya restitusi pajak, dan lainnya yang dialami beberapa sektor industri. Faktor penyebab tersebut membuat setoran pajak turun drastis, di antaranya industri manufaktur, perdagangan, hingga industri pertambangan.
Pada kuartal I-2024 setoran industri pengolahan turun sebesar 13,6%, padahal pada kuartal I-2023 masih tumbuh 32,9%. Industri sektor perdagangan pun tak jauh berbeda. Mengalami penurunan setoran pajak sebesar 1,6% pada kuartal I-2024, padahal pada kuartal I-2023 tumbuhnya hingga 19,9%. (Cnbcindonesia.com, Jumat 26/04/2024)
Pajak, Bentuk Pemalakan Berbalut Pelayanan
Dalam sistem kapitalisme, selain pajak sebagai sumber pendapatan negara, pajak juga berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan seperti menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan pelayanan publik lainnya. Fungsi lainnya adalah menjadi alat untuk mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi seperti produksi, konsumsi, distribusi, dan ekspor impor juga sebagai sarana untuk memajukan keadilan sosial (pemerataan pendapatan).
Pajak merupakan sumbangan wajib yang dikenakan negara kepada rakyat. Rakyat setiap tahun harus membayar dan tidak boleh telat jika tidak mau terkena denda. Alasannya, apabila banyak yang tidak melaksanakan kewajiban untuk membayar pajak, maka kegiatan negara akan sulit terpenuhi karena uang pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak akan digunakan oleh pemerintah untuk membayar hutang negara beserta bunga dari hutang tersebut dan untuk menyejahterakan masyarakat. Salah satunya dengan memberikan subsidi barang-barang kebutuhan masyarakat semisal BBM atau pinjaman untuk pengusaha makro.
Mekanisme pajak dalam sistem kapitalisme tak ubahnya praktik pemalakan. Hanya saja pemalakan di sini bersifat sistemik karena dilakukan oleh negara (penguasa) yang dilegalkan oleh undang-undang, di antaranya Pasal 23 (ayat 2) UUD 1945 dan UU No 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Pelegalan atas pungutan pajak ini tak lantas berbuah manis. Hasil dari pungutan pajak yang katanya dialokasikan untuk penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pelayanan publik lainnya, tak benar-benar dapat dinikmati masyarakat karena adanya kapitalisasi di sektor pendidikan dan kesehatan.
Sekolah dasar hingga perguruan tinggi tak lepas dari berbagai pungutan. Pembayaran gedung/uang bangunan, SPP, seragam, praktikum, les, kegiatan tahunan dan tingginya UKT menunjukkan bahwa pelayanan negara dari setoran pajak tak sesuai realitas. Kesulitan ini diperburuk manakala rakyat sakit. Kesehatan yang harusnya diperoleh rakyat sebagai hak warga negara, nyatanya kerap dibenturkan dengan birokrasi dan pelayanan RS yang memberatkan. Banyak pasien yang akhirnya terlantar, bahkan meninggal karena prosedur administrasi, BPJS, atau ketersediaan ruang inap beserta obat-obatan yang minim.
Sama halnya dengan infrastruktur seperti jalan, stasiun, bandara, pasar atau lainnya lbukanlah untuk mempermudah kepentingan rakyat melainkan kepentingan para kapital untuk memudahkan jalur transaksi dan investasi atas beragam proyek yang dikelola.
Dengan demikian, menurun atau tidaknya setoran pajak yang diperoleh negara sejatinya tak berpengaruh apapun kepada rakyat. Rakyat tak pernah merasakan bahwa pajak menyejahterakan. Rakyat dianggap sapi perah yang diambil manfaatnya secara terus- menerus tanpa diberikan kesejahteraan. Yang sejahtera adalah mereka yang menjadi pejabat dan berkecimpung mengelola uang rakyat hingga bisa memperkaya diri sendiri.