Oleh Riska
Aktivis Muslimah
Tahun baru tinggal menghitung hari. Masyarakat di seluruh belahan dunia siap untuk menyambut tahun baru masehi dengan riang gembira. Euphoria masyarakat sangat meriah dalam menyambut tahun 2025 mendatang. Stasiun televisi penuh dengan tayangan konser-konser, tempat wisata ramai oleh pengunjung. Mereka rela berdesak-desakan, kehujanan, kedinginan demi merayakan tahun baru 2025.
Masyarakat terbuai dengan selebrasi semata. Mereka lupa ada hal penting dari pada itu yaitu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini bukan hoax karena pemerintah telah memastikan bahwa mulai 1 Januari 2025, tarif PPN akan dinaikkan menjadi 12%. Pemerintah berdalih hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi utang luar negeri, dan menyesuaikan dengan standar internasional, mengingat negara-negara maju lainnya memiliki tarif PPN sekitar 15%.
Untuk meredam dampak dari kebijakan ini, pemerintah telah menyiapkan berbagai stimulus ekonomi. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan beberapa langkah perlindungan ekonomi sementara. Pertama, Penyaluran bantuan pangan berupa beras 10 kg selama 12 bulan untuk 16 juta keluarga penerima manfaat. Kedua, Diskon 50% tarif listrik bagi pelanggan dengan daya 450–2.200 VA (81,4 juta pelanggan) selama dua bulan. Ketiga, Akses kemudahan jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja yang terkena PHK dan kompensasi PPh final 0,5% bagi pelaku UMKM hingga 2025. Keempat, Percepatan penyaluran program bansos, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan sembako untuk jutaan keluarga penerima manfaat yang dijadwalkan lebih cepat, dimulai awal 2025.
Meskipun berbagai bantuan ini disiapkan oleh banyak pihak, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira, yang menilai kebijakan ini tidak akan efektif mengatasi beban ekonomi jangka panjang yang dihadapi masyarakat. Sebab, kebijakan stimulus yang diberikan hanya bersifat sementara, seperti diskon listrik yang hanya berlaku dua bulan pertama, atau bansos yang akan berakhir setelah beberapa waktu. Setelah itu, masyarakat akan kembali menghadapi beban ekonomi yang berat akibat kenaikan PPN.
Efek domino dari kenaikan PPN ini dapat menyebabkan harga barang-barang pokok naik meskipun bahan pokok sendiri tidak dikenakan PPN. Pedagang, seperti penjual ikan atau sembako, cenderung menaikkan harga barang untuk menyesuaikan dengan kenaikan biaya akibat PPN, yang pada akhirnya membuat daya beli masyarakat menurun. Hal ini tentu memperburuk kondisi ekonomi, terutama menjelang Ramadan dan hari raya.
Kebijakan menaikkan PPN 12% di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil ini dianggap sebagai kebijakan yang populis otoriter, di mana pemerintah seolah berpihak pada rakyat dengan memberikan berbagai bantuan sementara, padahal kebijakan ini lebih menguntungkan kelompok-kelompok elit dan kapitalis.
Pajak dalam Sistem Kapitalis
Pajak dalam sistem kapitalis berperan sebagai salah satu pilar utama yang menopang perekonomian negara, dan ini sering kali berujung pada kebijakan peningkatan tarif atau pengenalan pajak baru tanpa mempertimbangkan beban yang ditanggung oleh rakyat. Selama pajak mampu mendongkrak pemasukan negara, pemerintah akan terus menerapkan kebijakan pajak yang lebih tinggi.