Opini

Pajak dan Sistem Kapitalisme Gagal mensejahterakan Rakyat

199
×

Pajak dan Sistem Kapitalisme Gagal mensejahterakan Rakyat

Sebarkan artikel ini

 

Oleh Khatimah
Pegiat Dakwah

“Orang bijak taat pajak,” “Bangga bayar pajak” atau “Ayo peduli pajak”. Pajak, pajak dan pajak lagi, suatu hal yang pasti akan dihadapi dalam demokrasi kapitalisme. Layaknya lintah yang terus menghisap hingga puas. Namun begitulah kebijakan manusia tidak akan pernah ada puasnya jika hawa nafsu yang menjadi tolak ukurnya dalam menentukan aturan. Alih-alih demi kesejahteraan faktanya mencekik masyarakat, maka wajar banyak terjadi aksi penolakan dari kalangan masyakarat.

PPN (Pajak Pertambahan Nilai)12% yang berlaku pada 1 Januari 2025, menuai reaksi penolakan dari berbagai elemen, antara lain dilakukan oleh mahasiswa. Diberitakan Kompas.com, aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12%. Dengan membawa sejumlah poster yang berisi aspirasi dan tuntutan “Utangmu urusanmu. Utang negara ya urusanmu,” bunyi salah satu poster yang bergambarkan siluet menyerupai Menteri Keuangan Sri Mulyani.di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat. (Kontan.co.id 27/12/2024).

Begitupun dikalangan petisi Sebanyak 197.753 orang telah meneken, menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Sebab kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk. Salah satu inisiator berucap “Naiknya PPN yang juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli. Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas.” Namun keputusan Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memastikan tarif PPN naik jadi 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025. (CNN INDONESIA 28/12/2024)

Meski banyak penolakan tetap saja kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat diberlakukan. Ditengah kondisi perekonomian rakyat yang semakin sulit, pemerintah tidak mau mengubah kebijakannya terhadap tarif pajak menjadi 12%, dengan alasan untuk menaikkan pendapatan negara.

Diketahui bersama negara-negara kapitalis termasuk Indonesia menjadikan pajak sebagai pilar utama penerimaan negara terutama Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Penambahan Nilai (PPN). Oleh karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak, rakyat mau tidak mau harus mengikuti kebijakan negara meski dalam ekonomi yang pas-pasan. Negara pun memberlakukan ancaman bagi rakyat yang tidak bayar pajak ataupun telat meski dalam sehari. Tidak ada ampunan dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini, mau sekarat ataupun mati pajak tetap harus dibayar.

Secara teori ekonomi kapitalis pajak memiliki fungsi regulasi, akan tetapi faktanya hal tersebut dijadikan sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan pemilik modal dan birokrat. Banyak dari sebagian pengusaha dan kapitalis menghindar untuk banyar pajak, mereka diberi kelonggaran bahkan pengampunan pajak (tax amnesty). Namun berbeda perlakuan terhadap rakyat kecil yang terus dipaksa untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Oleh karena itu banyak wajib pajak melakukan manipulasi untuk mengurangi kewajibannya seperti: menyuap petugas pajak, mengubah laporan keuangan, hingga menyembunyikan kekayaan mereka di negara-negara bertarif pajak rendah dan menjamin kerahasiaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *