Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Rencana reformulasi mandatory spending alias tafsir ulang anggaran pendidikan dalam APBN yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR dinilai tidak tepat oleh sejumlah ekonom. Seperti diketahui, selama ini anggaran pendidikan dipatok dari belanja negara, akan tetapi patokan ini hendak disesuaikan dalam wacana terbaru. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menilai kebijakan mandatory spending ini penting untuk jangka panjang dan seharusnya tidak diubah. “Jika sudah ditetapkan 20% [dari belanja] untuk pendidikan, itu tidak boleh diotak-atik. Wacana untuk merombaknya menurut saya tidak tepat,” ujar Bhima dalam pernyataannya kepada Bisnis, Kamis (05-09-2024).
Sistem rusak dan merusak kembali membuat pemujanya berulah. Jika sebelumnya mandatory spending untuk kesehatan dihapuskan. Kini, mandatory spending untuk pendidikan juga terancam dihapuskan.
Wacana ini telah digulirkan oleh Kementerian Keuangan. Pengalokasian anggaran pendidikan dari berbasis belanja negara menjadi berbasis pendapatan negara sedang diotak-atik dengan alasan bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, yang berdasarkan belanja negara, cenderung fluktuatif dan berpotensi menyulitkan pengelolaan keuangan negara.
Alasan lainnya lagi adalah ada risiko peningkatan defisit APBN jika masih mengacu pada belanja negara. Menkeu mengemukakan bahwa belanja APBN 2022 mengalami lonjakan akibat peningkatan subsidi energi, yang berdampak pada kenaikan anggaran pendidikan untuk memenuhi ketentuan minimal 20% dari belanja APBN. Padahal, kenaikan subsidi energi disebabkan oleh harga minyak dunia yang tinggi, bukan karena peningkatan pendapatan negara. Hal ini mengakibatkan defisit APBN semakin membesar. Tampak benar, betapa kapitalisasi telah menggembosi kewajiban ri’ayah penguasa di negeri ini. Dengan kalapnya, apapun dilakukan sekalipun harus mengebiri anggaran pendidikan.
Reformulasi Anggaran Berbasis Ketidakberdayaan
Sesungguhnya telah banyak penolakan dari berbagai pihak. Wacana yang digulirkan terkait reformulasi anggaran ini berpotensi menurunkan anggaran pendidikan secara signifikan.
Berbagai pendapat dari para pakar bermunculan. Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, berpendapat bahwa wacana tersebut melanggar Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 dan berpotensi mengurangi dana pendidikan di APBN hingga Rp100-150 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira, juga berpendapat bahwa jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya Rp665 triliun (berdasarkan belanja negara) bisa turun menjadi sekitar Rp560,4 triliun (berdasarkan penerimaan negara). Hal ini tentu menimbulkan masalah baru, mengingat dengan anggaran semula saja masih banyak persoalan akibat kekurangan dana yang belum terselesaikan.
Ekonom Indef, Ariyo DP Irhamna, berpendapat pula bahwa motif mewacanakan mandatory spending berdasarkan pendapatan adalah akibat kondisi fiskal yang tertekan oleh utang yang menggunung, bukan berdasarkan kepentingan pendidikan itu sendiri.
Sekalipun anggaran pendidikan saat ini diliputi berbagai polemik anggaran, mulai dari tidak tepat sasaran hingga indikasi korupsi, reformulasi anggaran seharusnya dilakukan untuk mendorong perbaikan efektivitas dan kualitas belanja fungsi pendidikan. Bukan sekadar mengubah perhitungan anggaran berdasarkan belanja atau pendapatan negara, bukan pula mengurangi anggaran pendidikan.
Tidak terserapnya anggaran pendidikan hingga Rp111 triliun (hanya terserap sebesar 16% dari pagu APBN 2023), menunjukkan ketidakefektifan penggunaan anggaran. Masalah pendidikan akibat kurangnya biaya masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin tidak terjangkau, gedung sekolah yang rusak, dan nasib guru honorer yang digaji tidak memadai, mewarnai dunia pendidikan di negeri ini.
Jika saja Rp111 triliun itu dapat terserap dengan baik, masalah-masalah tersebut mungkin bisa diatasi. Selain permasalahan di atas, ternyata korupsi dan anggaran tidak efektif lainnya seperti perjalanan dinas dan penyelenggaraan rapat di hotel mewah, juga turut menghiasi penggunaan dana pendidikan yang terbatas, padahal dana yang ada terbatas.
Kondisi seperti ini menunjukkan ketidakberdayaan pengelolaan anggaran pendidikan karena teperdaya oleh sistem pendidikan yang ada. Perubahan anggaran pendidikan yang berdasarkan pada perhitungan anggaran dan bukan pada kebutuhan biaya pendidikan itu sendiri, menunjukkan bahwa pemerintah menganggap pendidikan sebagai beban yang dapat memperbesar defisit APBN. Dengan ketidakberdayaannya, negara cenderung menyerahkan urusan pendidikan kepada sektor swasta. Sekolah-sekolah swasta menjamur, dibarengi dengan ketersediaan fasilitas yang baik, tetapi hanya golongan menengah ke atas yang dapat merasakan pendidikan berkualitas.
Paradigma kepemimpinan kapitalistik menjadikan negara memandang rakyat sebagai pembeli dan memosisikan penguasa sebagai pihak penjual, sehingga hubungan antara keduanya sebatas untung-rugi. Secara sistemik paradigma kapitalistik membuat pemerintah tidak mau rugi. Kondisi ini membuktikan bahwa pemerintah semakin lepas tangan terhadap pemenuhan hak-hak rakyatnya. Padahal, pendidikan berkualitas adalah kunci untuk mewujudkan negara yang maju.
Data dari Kemendikbudristek (2024) menunjukkan bahwa belum banyak pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang mengalokasikan APBD mereka sebanyak 20% untuk pendidikan. Paradigma kapitalistik menjadi biang kerok yang memengaruhi pemerintah daerah hingga enggan mengalokasikan dana APBD untuk pendidikan.
Miris. Kapitalistik dalam sistem politik demokrasi telah menciptakan kepemimpinan yang penuh dengan orang-orang bermental oportunis. Anggaran pendidikan yang sedikit tetap saja dikorupsi. Banyaknya pelajar yang belum memiliki seragam dan buku untuk sekolah, serta nasib guru honorer yang gajinya tidak manusiawi, membuat kualitas pendidikan menurun karena para guru dan siswa tidak fokus dalam proses belajar mengajar. Para guru sibuk mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, siswa pun tak punya sarana untuk mengikuti pembelajaran.