Oleh: Finny Ibrahim
Aktivis Muslimah
Secara resmi, pada 30 Mei 2024, Presiden Joko Widodo telah menandatangani aturan yang membolehkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk memiliki izin pengelolaan tambang. Peraturan itu tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang diberikan adalah wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Tentunya hal tersebut disambut baik oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf. Menurutnya kebijakan ini merupakan langkah berani dan menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumberdaya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat. Pihaknya akan menyiapkan suatu struktur bisnis dan manajemen yang akan menjamin profesionalisme dan akuntabilitas, termasuk pengelolaan dan pemanfaatan hasilnya.
Namun, Peraturan Pemerintah tersebut menuai banyak kritik. Salah satunya datang dari Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, yang menilai alasan pemerataan ekonomi yang dilontarkan pemerintah hanyalah dalih obral konsesi demi menjinakkan ormas-ormas keagamaan. Ormas-ormas keagamaan diminta berpikir ulang untuk menerima tawaran pemerintah mengingat banyak korban tambang justru adalah jemaah mereka.
JATAM dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) menilai substansi soal izin tambang bagi ormas keagamaan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara karena Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Jika keduanya tidak berminat, maka penawaran dapat diberikan kepada swasta melalui proses lelang. Berdasarkan pada UU Minerba, ormas keagamaan tidak termasuk pihak yang dapat menerima penawaran prioritas.
JATAM menilai, ormas keagamaan tidak memiliki kapasitas mengelola pertambangan karena tidak mungkin memenuhi syarat-syarat administratif, teknis dan pengelolaan lingkungan, serta finansial. Maka, skema yang mungkin diterapkan yakni ormas menjadi pemegang konsesi dan bekerja sama dengan perusahaan lain sebagai operator. Skema ini justru memudahkan perusahaan-perusahaan untuk masuk ke wilayah pertambangan khusus melalui ormas-ormas keagamaan tanpa melalui proses lelang lebih dulu. Dikhawatirkan hal ini akan mempercepat perluasan areal tambang sehingga berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan.
Menurut JATAM, ormas-ormas keagamaan di Indonesia tidak serta merta menerima penawaran pemerintah untuk menjadi pengelola tambang, harusnya mereka itu berkontribusi dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terdampak oleh tambang. Karena banyak korban tambang yang diadvokasi oleh JATAM seperti NU dan Muhammadiyah.