Oleh Nur Fiyriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
“Sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak sesuai konstitusi. Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural maka siapa lagi yang diharapkan memberikan solusi?” Demikian pertanyaan Din Syamsudin mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Ini terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, tentang kebolehan ormas keagamaan mengelola pertambangan mineral dan batubara yang mulai berlaku pada tanggal 30 Mei 2024. Wajar, jika langkah berani Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan menuai kritikan dari berbagai kalangan.
Kritikan pedas datang juga dari politisi fraksi PKS sekaligus anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menuding pemerintah telah melanggar UU Minerba karena memberikan prioritas khusus kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang. Seharusnya, prioritas khusus hanya diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Lebih lanjut, Mulyanto merasa prihatin dengan sikap sejumlah ormas yang ikut-ikutan mengelola tambang. Setelah NU dan Muhammadiyah, menyusul Persatuan Islam (Persis). Bahkan MUI sedang mengkaji untuk ikut memanfaatkan peluang ini. Mulyanto khawatir fenomena tersebut tidak hanya merusak tata kelola minerba tetapi juga menjatuhkan marwah (harkat dan martabat) ormas di mata umat. (Parlementaria, Selasa, 30/7/2024)
Hal senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin tidak sepakat Muhammadiyah menerima izin konsesi tambang. Selain Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak sesuai konstitusi, selama ini telah terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara sebagai sumber korupsi. Bahkan, potensial membawa jebakan. Pasalnya, pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. (cnnindonesia.com, 15/6/2024)
Seharusnya semua ormas keagamaan kompak menolak pembagian konsesi tambang, karena beberapa alasan, yaitu:
Pertama, sudah jelas bahwa pemerintah melanggar UU Minerba dengan bagi-bagi izin kelola tambang. Mengapa NU, Muhammadiyah, dan Persis justru menerima konsesi? Hal ini sama artinya, mereka mendukung pelanggaran konstitusi tersebut, tak ubahnya “setali tiga uang, artinya sama saja”. Hal ini merupakan jebakan yang kasat mata. Apalagi di saat munculnya protes global atau tudingan penyebab dari perubahan Iklim dan pemanasan global. Di sisi lain pelaku pertambangan dimonopoli oleh penguasa/pejabat, elit politik, dan oligarki. Intinya, ormas keagamaan digunakan sebagai bumper mereka.
Kedua, merusak lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA). Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar mengungkapkan bahwa pada tahun 2020 ada 3.092 lubang tambang yang dibiarkan menganga oleh perusahaan. Bahkan di Kalimantan Timur telah menelan korban 40 orang meninggal dunia. Selain itu, pertambangan di Indonesia berdampak negatif, yakni merusak lingkungan, melenyapkan sumber air, dan hilangnya sumber pangan warga. Lalu, masihkah ormas keagamaan mencari dalih pembenaran?
Oleh karena itu, narasi yang dibuat para ormas ingin mengembangkan pertambangan ramah lingkungan dan untuk menyejahterakan warga sekitarnya, adalah omong kosong. Justru, ormas keagamaan telah menyakiti hati dan tega mengorbankan jemaahnya yang selama ini menjadi korban dampak penambangan tersebut.
Ketiga, dengan menerima konsesi tambang intinya rezim berhasil menjinakkan kekritisan ormas-ormas keagamaan terutama ormas Muhammadiyah yang dinilai selama ini getol menuntut pembatalan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, menuntut Proyek Strategis Nasional di Rembang dicabut, juga pembatalan izin tambang emas terbesar di Jawa, dll. Dengan kata lain rezim memberikan konsesi tambang pada ormas tidak lain untuk meredam gerakan masyarakat agar tidak bersuara lantang.
Keempat, narasi yang dibangun oleh rezim maupun ormas keagamaan bahwa tambang untuk kesejahteraan warga sekitarnya adalah pembohongan publik. Sejatinya keuntungan itu untuk elit politik, elit ormas, dan oligarki. Realitasnya, yang menguasai pertambangan itu adalah mereka sendiri.
Faktanya, perusahaan Sinarmas telah menguasai lahan seluas 5 juta hektare meski tidak semuanya batubara. Bahkan SDA dikuasai secara serakah oleh segelintir orang yang diduga berkolusi dengan pejabat. Menurut JATAM, Melky Nahar mengungkap hanya mencatat sebagian kecil nama-nama pemilik tambang yang memiliki jabatan strategis saja. Di antaranya, Prabowo memiliki sejumlah perusahaan tambang batubara di Kalimantan dengan total seluas 45.703 hektare. Sedangkan Gibran, memiliki jaringan tambang milik bapaknya Jokowi, yakni PT Rakabu Sejahtera, terafiliasi dengan PT Toba Sejahtera milik Luhut Binsar Panjaitan. Ada nama lain, yaitu Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, Abu Rizal Bakrie, Erick Thohir, Airlangga Hartarto, Sandiaga Uno, Happy Hapsoro suami Puan Maharani, dan Bahlil Lahaladia, Menteri Investasi/Kepala BKPM, dan lainnya.