Yuni Yartina
(Aktivis Muslimah)
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P Hutajulu mengatakan sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. “Sampai dengan Triwulan I 2024, Ditjen Ketenagalistrikan telah menetapkan daerah belum berlistrik sebanyak 0,13 persen, 112 desa/kelurahan,” katanya, saat dihubungi Tirto, Senin (10/6/2024). Upaya untuk mencapai target rasio elektrifikasi 100 persen di akhir tahun ini antara lain, dengan perluasan jaringan (grid extension) untuk melistriki desa-desa yang dekat dengan jaringan distribusi eksisting. Selanjutnya melalui pembangunan minigrid untuk melistriki desa-desa yang sulit dijangkau perluasan jaringan listrik PLN dan masyarakatnya bermukim secara berkelompok (komunal) (Sumber : Tirto.id).
Listrik menjadi sesuatu yang penting untuk dipenuhi oleh negara, tak pandang wilayah perkotaan maupun pedesaan. Wilayah yang belum teraliri listrik ini walaupun secara persentase terlihat sedikit, namun tetap saja menjadi tanda tanya. Sebab, kita sudah berada pada zaman yang serba digital dengan listrik menjadi kebutuhan utamanya. Tidakkah persoalan ini harusnya sudah tuntas sejak awal? Faktanya, negeri ini masih bergumul dengan persoalan dasar ini. Menyisakan tanda tanya, mengapa bisa terjadi?
Listrik merupakan kebutuhan publik, tak seharusnya pengelolaannya didominasi oleh swasta. Pada akhirnya, listrik menjadi salah satu kebutuhan yang diperjualbelikan. Istilahnya, telah terjadi liberalisasi listrik yang mana ini berlangsung sejak tahun 2000-an. Listrik yang dialirkan oleh PLN bukanlah murni hasil kelola negara. Melainkan PLN harus membeli terlebih dahulu tenaga listrik kepada Independent Power Producer (IPP) alias swasta. Lucunya lagi negara justru merasa terbantu dengan adanya IPP, alih-alih mengelola sendiri pembangkit listrik. Hal tersebut tertuang dalam UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Tentu saja ini menjadi pertimbangan dana ketika harus memenuhi kebutuhan listrik di pelosok. Sebab segala kebutuhan publik yang dikuasai korporasi tidak mungkin gratis ataupun murah. Rakyatlah yang menjadi korban permainan kapitalistik.
Begitulah keadaan dalam sistem sekuler kapitalis, tak segan mencari keuntungan besar dibalik kebutuhan publik. Berbeda dengan sistem Islam, listrik adalah milik umum sehingga pengelolaannya harus oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad). Aliran energi panas (api) yang dihasilkan oleh listrik sehingga dapat menyalakan barang elektronik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut.