Opini

No Viral No Justice: Fenomena Kehidupan Bercorak Kapitalisme

106
×

No Viral No Justice: Fenomena Kehidupan Bercorak Kapitalisme

Sebarkan artikel ini

Oleh: Astriani Lydia, S.S

Maraknya fenomena “no viral no justice”  saat ini menjadi kritik bagi aparat penegak hukum untuk lebih serius menangani kasus hukum di masyarakat. Pasalnya masyarakat menganggap ini adalah “jalan ninja” agar kasus-kasus hukum bisa terselesaikan dengan cepat.

Seperti kasus tewasnya remaja di Sumatra Barat, Mualana Afif. Kemudian kasus Vina Cirebon atau kematian Vina Dewi Arsita. Hingga teranyar kasus penganiayaan oleh anak pemilik toko roti, George Sugama Halim terhadap karyawan. Tak ketinggalan pula saat anggota polisi di Polsek Pondok Gede, Kota Bekasi, enggan menanggapi laporan pengemudi mobil yang diserang oleh tiga orang berboncengan motor. (Tempo.co, 04/01/2025)

Kasus seperti ini sudah sering kali terjadi. Pihak kepolisian sering kali menolak laporan warga dengan alasan yang tidak jelas, hingga beberapa kasus akhirnya menelan korban jiwa. Akhirnya, warga lebih memilih untuk melaporkan kasus mereka ke sosial media, karena ketika sudah viral maka polisi akan segera bergerak.

Ini baru sedikit kasus yang tampak, diantara sederet kasus lainnya. Aparat dan penegak hukum yang semestinya mampu menyelesaikan permasalahan publik, nyatanya menjadi pihak yang justru tidak bisa diandalkan. Hingga muncul tagar “Percuma lapor polisi.”

Sungguh sistem dengan corak kapitalis seperti saat ini melunturkan integritas para penegak hukum. Mereka yang seharusnya menjalankan tugas dengan amanah dan adil, kalah oleh materi, kekuasaan atau bahkan ancaman. Maka tidak mengherankan jika mereka tidak cepat tanggap dalam melayani masyarakat dengan berbagai kasusnya. Kecuali setelah viral, dan biasanya hanya demi mempertahankan citra diri dan lembaga, tidak lebih dari itu.

Kepolisian dalam Pandangan Islam

Kepolisian dalam Islam bukanlah kesatuan ala kadarnya yang direkrut dari orang-orang rendahan dan dilatih asal-asalan. Kepolisian dalam Islam adalah kesatuan terbaik dan menonjol. Al-Azhari berkata, “Polisi adalah setiap kesatuan terbaik. Di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi karena mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Bahkan dikatakan mereka adalah kesatuan terbaik yang lebih menonjol daripada tentara.” (Ajhizah ad-Dawlah, hlm. 94).

Karena vitalnya peran polisi dalam penegakan syariat Islam, maka tidak sembarang orang diterima menjadi polisi. Tidak cukup hanya sehat badannya dan punya keterampilan fisik. Disyaratkan juga mereka adalah pribadi-pribadi yang bertakwa.

Ibnu Azraq menyebutkan, “Wajib bagi Imam/Khalifah untuk memilih polisi dari kalangan orang yang tsiqah (terpercaya) agamanya, tegas dalam membela kebenaran dan hudûd (hukum pidana Islam), waspada dan tidak mudah dibodohi.” (Bada’ as-Silki fî Thabai’ al-Mulki, 1/289, Maktabah Syamilah).

Dengan tiga sifat ini maka hukum syariat dapat ditegakkan. Kepolisian akan diisi oleh anggota yang bertakwa sehingga tidak mempan dibujuk apalagi menerima suap dari siapa pun. Mereka tegas dalam menegakkan hukum, juga tidak akan memutarbalikkan hukum untuk keuntungan pribadi.

Aparat keamanan yang bertakwa juga memahami bahwa ketaatan mutlak hanya kepada Allah Swt., bukan kepada atasan maupun penguasa. Sabda Nabi saw.,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat. Sungguh taat itu hanya dalam perkara yang makruf.” (HR Al-Bukhari).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *