Opini

Nir Manfaat, Food Estate Proyek yang Dipaksakan

145
×

Nir Manfaat, Food Estate Proyek yang Dipaksakan

Sebarkan artikel ini

Oleh Irma Faryanti

Pegiat Literasi

Proyek Food Estate yang telah berjalan selama tiga tahun di Kalimantan Tengah kembali ditemukan terbengkalai. Lahan itu ditemukan penuh dengan semak belukar, bahkan ratusan hektare telah beralih menjadi perkebunan sawit swasta karena para petani menyerah dan mengaku kewalahan menanam padi di sana sebab selalu gagal panen.

Pemandangan itu didapati di 30 area ekstensifikasi proyek lumbung pangan Food Estate pada 19 desa di Kabupaten Kapuas dan pulau Pisang (2020-2023). Sanal (69), salah satu petani yang mengikuti program tersebut menyatakan bahwa di tempat tersebut menanam sawit lebih berhasil dibanding padi. Sementara warga lainnya Fadli (46) menceritakan kegagalan serupa pernah dialami saat keluarganya menggarap proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) pada masa orde baru. (www.bbc.com 20 Oktober 2024)

Fadli bercerita bahwa saat itu keluarganya ikut menggarap proyek lahan gambut sejuta hektare di desa Palingkau Asri dan Palingkau Jaya yang dicanangkan Presiden Soeharto untuk lumbung pangan nasional. Namun sayang berujung gagal, keluarganya pun kembali ke desa Tajepan karena tidak berhasil. Saat pemerintahan Jokowi berniat mencanangkan perluasan di wilayah tersebut, tidak sedikit yang meragukan program ini akan berhasil.

Rentetan masalah pun terjadi di balik proyek Food Estate Jokowi, tapi alih-alih melakukan evaluasi, pemerintah justru memperluas area hingga lebih dari 16.000 hektare. Wahyu Perdana selaku manajer kampanyeu dan advokasi Pantau Gambut menyatakan bahwa berulangnya kegagalan program itu terjadi karena lahan tidak sesuai untuk pertanian, ditambah lagi dengan buruknya pengelolaan yang dilakukan.

Menurut Wahyu, ada kesamaan antara Food Estate yang dicanangkan dengan proyek PLG di zaman Soeharto, yaitu memaksakan pertanian di ekosistem gambut, padahal tingkat keberhasilannya hanya satu persen. Untuk itu pihaknya meminta program ini dievaluasi, dihentikan dan dilakukan rehabilitasi pada lahan yang terbengkalai. Namun semua itu diabaikan, Kementerian Pertanian justru berencana mencetak lebih banyak sawah di Kalimantan Tengah dengan target seluas 621.684 hektare di tahun 2026. Bahkan mereka menegaskan bahwa lokasi di Kabupaten Kapuas telah ditetapkan melalui keputusan Bupati No 537/Distan tahun 2022 dan sesuai dengan UU no 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Konsorsium Pembaruan Agraria menilai bahwa keberadaan Food Estate semakin memperburuk konflik yang telah terjadi juga memperparah kerusakan lingkungan karena pengadaan tanah berasal dari pembukaan hutan dan penebangan kayu secara massal. Selain itu, tidak sedikit lahan yang telah dimiliki rakyat secara turun-temurun diklaim milik pemerintah. Alhasil, mereka pun kehilangan mata pencaharian, sementara kompetensi mereka tidak terserap oleh industri. Modal yang kurang pun menjadi sebab sulitnya mereka membuka usaha walau kecil-kecilan. Maka tidak heran jika angka pengangguran semakin tinggi. Kemiskinan, kebodohan dan kejahatan pun kian tak terkendali.

Terus berlanjutnya program walaupun tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat, menunjukkan bahwa proyek ini dibuat bukan untuk masyarakat, melainkan bagi para elite oligarki. Karena untuk mengembangkan produksi padi, China berjanji memberikan teknologinya. Bahkan pemerintah pun tengah mencari pengusaha lokal untuk pelaksanaan teknisnya. Padahal para petani di Kalteng sudah menyampaikan bahwa lahan tersebut tidak cocok ditanami padi. Demikianlah realita dalam sistem demokrasi kapitalis, kebijakan ditetapkan bukan untuk kepentingan warganya, melainkan bagi para pemilik modal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *