(Oleh: Neng Saripah S.Ag)
Mengutip dari Tirto.id, pada (3/juli/2024). Muhadjir Effendy, selaku Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir menilai bahwa adopsi sistem pinjol (pinjaman online) melalui perusahaan P2P kini lending di lingkungan akademik, hal tersebut merupakan bentuk inovasi teknologi.
Menurutnya, inovasi teknologi dalam rangka pembiayaan kuliah melalui pinjol sebenarnya adalah peluang bagus, sayangnya sering kali disalahgunakan.
“Pinjol ini memang sudah mengandung arti kesannya negatif. Tetapi, kan ini sebuah inovasi teknologi. Akibat dari kita mengadopsi teknologi digital terutama, dan ini sebetulnya kan peluang bagus asal tidak disalahgunakan dan tidak digunakan untuk tujuan pendidikan yang tidak baik,” ungkap Muhadjir dalam konferensi pers di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Muhadjir pula menekankan bahwa (pinjol) pinjaman online tidak bisa disamakan dengan (judol) judi online yang mana judol ada pelanggaran di atas hukum berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2008 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Jadi sebetulnya kalau dari platform-nya menurut saya pinjol ini beda sama sekali dengan judi online. Kalau judi online itu jelas melawan hukum dan sanksi ancamannya 6 tahun penjara, Rp1 miliar denda,” ujarnya.
Pasalnya hal tersebut diungkap merespons dorongan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI menggaet BUMN terkait upaya pemberian bantuan dana biaya kuliah untuk membantu mahasiswa meringankan pembayaran. (CNN Indonesia/rabu/3/juli/2024)
“Pokoknya semua inisiatif baik untuk membantu kesulitan mahasiswa harus kita dukung gitu termasuk pinjol,” kata Muhadjir di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (2/7).
Pernyataan tersebut Viral di kalangan masyarakat dan menjadi tanda tanya besar tentang sikap pejabat yang demikian, menunjukkan betapa rusaknya paradigma kepemimpinan para Pejabat dalam sistem sekuler kapitalisme yang mana malah mendukung pengusaha pinjol, yang jelas – jelas dapat menghantarkan kerusakan serta merusak masyarakat.
Hal ini juga membuktikan telah terlepasnya tanggungjawab negara dalam tercapainya tujuan pendidikan. Di sisi lain, dapat menggambarkan betapa rusaknya masyarakat dan didorong untuk berpikiran pragmatisme akibat kemiskinan dan gagalnya negara mensejahterakan rakyat.