Oleh Isma Humaira
Ibu Rumah Tangga
Keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 terus menuai kritik. Ditengah kondisi ekonomi yang sulit, kebijakan ini menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Selain itu daya beli masyarakat sedang turun, apalagi dalam beberapa bulan terakhir ini. (Tempo.co, 17/10/2024).
Pajak dalam sistem kapitalisme digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi berbasis utang. Akibatnya, rakyat terus dipalak melalui berbagai pungutan/pajak, termasuk PPN yang bersifat regresif, yakni membebani semua kalangan, termasuk golongan berpenghasilan rendah. Hal ini pun dilakukan secara terus-menerus. Kebijakan pajak ini, apalagi di tengah kesulitan rakyat, tentu sangatlah zalim, dan jelas haram. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim).
Dalam ajaran Islam, penguasa adalah pelayan/pengurus rakyat. Pengurus rakyat tentu tidak pantas memalak rakyatnya dengan aneka pajak. Untuk mengatasi kezaliman pajak adalah kembali pada syariah Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariah Islam secara kâffah, perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.
Pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya pemasukan dari: harta rampasan perang (anfâl, ghanîmah, fai dan khumûs); pungutan dari tanah kharaj; pungutan dari non-Muslim (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr); harta sitaan dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; zakat; dst (Syaikh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).