Oleh: Nur Laily
(Aktivis Muslimah)
Beras adalah kebutuhan pokok masyarakat. Jika harga beras mahal, tentu akan menyusahkan setiap orang. Penghasilan keluarga hanya akan terkuras untuk membeli beras.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menerbitkan Peraturan Bapanas (Perbadan) tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium. Dengan terbitnya aturan ini, kenaikan harga beras yang ditetapkan melalui relaksasi HET sebelumnya jadi berlaku permanen. Berdasarkan Perbadan Nomor 5 Tahun 2024, kenaikan harga beras di tingkat konsumen akan diatur berdasarkan wilayah.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, menjelaskan bahwa penerbitan beleid baru tersebut untuk menguatkan kebijakan relaksasi yang telah diberlakukan sebelumnya. Arief menegaskan bahwa penyesuaian HET beras tidak terpisahkan dari upaya stabilisasi pasokan dan harga beras, di mana kebijakan di hulu (tingkat petani) juga selaras dengan di hilir (tingkat konsumen).
Jika alasan penyelarasan harga beras karena kebijakan di hulu dan hilir, maka ini menunjukkan bahwa negara tidak mau memikirkan masalah rakyat dan menyelesaikannya. Bahkan negara dengan gampangnya mematok harga beras di tengah beratnya beban ekonomi rakyat yang semuanya semakin mahal.
Inilah akibat diterapkannya Sistem Kapitalis, dimana agama di jauhkan dari kehidupan. Sistem ekonomi kapitalisme melahirkan persaingan bebas yang pasti dimenangkan para pemilik modal besar. Sehingga orang bisa bebas melakukan apapun yang bisa mengguntungkan tanpa melihat halal dan haram, bernilai kedzaliman atau tidak.
Salah satu penyebab kenaikan harga beras adalah rusaknya distribusi beras. Distribusi beras dikuasai oleh sejumlah perusahan besar. Perusahan besar ini menguasai sektor hulu hingga sektor hilir. Dengan menguasai distribusi beras, perusahaan besar mampu mempermainkan harga dan menimbun beras. Ketika beras langka maka akan di keluarkan dengan harga yang mahal.