Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Penyelenggaraan ibadah haji 2024 menuai kritik tajam buntut keluhan dari banyak jemaah Indonesia atas pelayanan yang cenderung memprihatinkan. Kritik datang dari Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR yang mengungkapkan kondisi akomodasi jemaah yang memprihatinkan. Tenda jemaah haji Indonesia minim kapasitas hingga layanan toilet yang antre berjam-jam. (cnnindonesia..com, 20-06-2024).
Dikutip dari katadata 18-6-2024, Ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Muhaimin Iskandar mendapatkan aduan terkait penyelenggaraan haji. Beberapa di antaranya adalah AC yang tidak dapat menyala, tenda yang over kapasitas, kurangnya kasur, jatah tempat per jemaah hanya 0,8 m yang menyebabkan kesulitan tidur sehingga menyebabkan banyak yang memilih di lorong-lorong, serta adanya keterlambatan bus menuju Arafah.
Padahal biaya haji kali ini cukup mahal. Jemaah harus mengeluarkan kocek Rp93,41 juta/orang. Bagi masyarakat Indonesia, jumlah ini sangat besar. Mereka harus menabung sekian puluh tahun agar bisa melaksanakan ibadah haji.
Kenyataan lain terkait ibadah haji adalah adanya penambahan kuota ibadah haji sebanyak 20.000. Dalam penambahan tersebut, pihak penyelenggara langsung membagi dua, masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan ONH plus. Padahal menurut UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, harusnya jatah haji reguler 92% dan sisanya ONH plus. Anggota Komisi VIII DPR sekaligus Anggota Timwas Haji John Kenedy Azis menyoroti adanya penambahan kuota haji tersebut. Menurutnya, pembagian kuota ini ilegal dan melanggar aturan. Jika diamati, bau komersialisasi terendus di sini.
Tidak bisa dimungkiri komersialisasi begitu tampak. Para pengusaha berlomba-lomba mendirikan hotel berbintang. Hanya jemaah berkantong tebal saja pada akhirnya yang bisa mendapatkan fasilitas bagus dan dekat dengan tempat ibadah. Bagi yang tidak, tinggal di hotel yang letaknya jauh dari Makkah dengan fasilitas seadanya, menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari, kecuali atas izin Allah ada takdir lain untuknya.
Demikian pula dengan persyaratan pengurusan Visa Haji yang sangat merepotkan calon jemaah. Biaya kepengurusannya cukup mahal. Banyak yang tertipu, bukan Visa Haji yang didapat namun visa nonhaji. Kesulitan lain juga dihadapi bagi yang sengaja ke Tanah Suci secara mandiri agar biayanya lebih murah, realitanya tidak bisa berangkat haji karena tidak memiliki Visa Haji. Sungguh miris, untuk beribadah saja kebijakan di negeri ini sangat menyulitkan.
Nation State Menyekat Kerinduan Umat
Sungguh hampir 14 abad lamanya, kaum Islam disatukan dalam institusi pemerintahan Islam global. Sebuah realitas sejarah yang tidak terbantahkan. Realitas ini dihitung sejak pertama kali Baginda Rasulullah saw. sukses membangun Daulah Islamiah di Madinah, dilanjutkan dengan era Khulafaurasyidin, era Khilafah Umayah, era Khilafah Abbasiyah, dan era Khilafah Utsmaniyah. Sepanjang sejarahnya, Khilafah Islam pernah menyatukan kaum muslim di dua pertiga bagian dunia.
Namun Inggris melalui Mustafa Kemal Attaturk sang antek, berhasil meruntuhkan Khilafah Ustmaniyah pada 1924. Umat Islam sedunia terpecah-belah. Mereka dipisahkan oleh negara-bangsa (nation-state) dengan kebangsaannya masing-masing. Nasionalisme dan nation-state memecah belah umat Islam sedunia, merobek ukhuwah islamiyah yang selama ini terjalin. Pascakeruntuhan Khilafah pada 1924, dampak buruk nasionalisme dan nation-state mulai tampak terasa, termasuk salah satunya dalam ibadah haji.
Nasionalisme dan nation-state telah menjadi sekat yang membuat negeri-negeri muslim dengan Arab menjadi negara yang berbeda. Saat muslim ingin berhaji, visa menjadi urusan yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Dalam pelayanan yang diberikan pun ternyata tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Uang bermain. Siapa yang bercuan lebih untuk beli fasilitas, maka dia terlayani dengan baik. Namun jika tidak, keadaan sebaliknya yang dirasa.
Nation-state telah menyekat kerinduan umat untuk menyambut seruan Allah Ta’ala. Nasionalisme telah menyempitkan upaya umat untuk memenuhi panggilan mulia.