Oleh : Umi Astuti
Pemerhati Keluarga dan Instruktur Go Ngaji
KumpNews”,Ratusan peternak sapi perah, peloper, hingga pengepul susu sapi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menggelar aksi membuang susu buat mandi di Tugu Patung Susu Tumpah Kota Boyolali, Sabtu (9/11).
Aksi tersebut sebagai bentuk protes mereka lantaran banyaknya susu yang ditolak masuk industri pengolahan susu (IPS) dengan dalih adanya pembatasan masuk susu mentah ke pabrik.
Koordinator Aksi, Sriyono Bonggol, mengataka Tak hanya membuangnya, susu juga dibagikan gratis kepada warga pengguna jalan atau warga sekitar yang mau.
Dalam aksi tersebut susu yang dibuang atau dibagikan senilai Rp 400 juta. Ini sebagai wujud protes terhadap kondisi susu lokal saat ini. Setiap hari ada 30 ribu liter susu dari Boyolali yang tak bisa diserap oleh pabrik karena alasan pembatasan,” katanya.
Dia mengatakan, kebijakan pabrik membatasi kuota susu masuk ke IPS membuat peternak sapi susu perah di Boyolali menjerit.“Kami menduga adanya impor susu yang tak dibatasi jadi penyebab utama masalah ini,” ujarnya.
Serapan Susu Lokal Mulai Turun Sejak September
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Boyolali, Lusia Diah Suciati, mengatakan menurunnya serapan susu lokal oleh IPS mulai terlihat sejak September lalu. Hal itu terjadi karena :
Pertama, maintenance pabrik atau adanya proses perawatan atau penggantian perangkat, peralatan, permesinan.
Kedua, kelesuan konsumen (daya beli masyarakat turun).
Ketiga, ada perbaikan grade standar kualitasnya.
Polemik susu di kalangan peternak sapi perah sejatinya sudah terjadi sebelum aksi buang susu ini. Saat itu viral di media sosial bahwa UD Pramono, pengepul susu sapi di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah menutup usahanya lantaran terlilit masalah pajak sekitar Rp670 juta. Pramono kemudian menyampaikan kepada kantor pajak akan berhenti mengambil susu dari peternak sapi perah mitranya.
Polemik di Tengah Masyarakat
Jika kita mencermati realitas ini, aksi peternak membuang susu ini tentu sebuah ironi. Di antara penyebab utama aksi buang susu ini adalah berkurangnya penyerapan susu dari IPS karena adanya pembatasan kuota. Perusahaan IPS lebih memilih impor bubuk susu atau skim daripada menyerap susu segar dari peternak lokal karena harganya lebih murah, bahkan lebih murah dari market price (harga pasar dunia). Akibatnya, hasil produksi susu segar dari peternak lokal tidak terserap maksimal. Sebagai informasi, kualitas bubuk susu yang diimpor belum tentu lebih baik daripada susu segar yang dihasilkan oleh peternakan lokal.
Menurut data Kementan, ketersediaan susu untuk konsumsi nasional selama 2012—2021 terdiri dari jenis susu sapi lokal dan susu impor. Susu impor menyediakan 11,23 kg/kapita/tahun, sedangkan susu sapi lokal memasok 2,96 kg/kapita/tahun. Dengan kata lain, kondisi pasar susu nasional menunjukkan bahwa 80% dipenuhi dari impor dan hanya 20% yang dari lokal dengan alasan susu lokal tidak memenuhi standar.
Selain itu, program makan bergizi gratis (MBG) juga lekat dengan kabar mengenai pasokan susu dari investor Vietnam sebanyak 1,8 juta ton. Selain Vietnam, dikabarkan ada perusahaan Qatar yang siap memproduksi dua juta ton susu per tahun di Indonesia. Tidak pelak, realitas ini berpeluang menjadi celah untuk impor sebagai salah satu solusi ketersediaan susu sehingga berdampak pada rendahnya serapan susu dari peternak lokal oleh IPS. Sayang, ketika polemik susu ini mencuat, solusi yang pemerintah tawarkan ternyata pragmatis sehingga tidak mampu menuntaskan permasalahan.
Kebijakan Pragmatis Pemerintah
Solusi pragmatis yang ditetapkan pemerintah yaitu :
Pertama, Dengan Impor untuk menyelesaikan polemik susu ini tidak terlepas dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Kondisi ini jelas merugikan para peternak sapi.
Negara seharusnya melindungi nasib peternak melalui kebijakan yang berpihak pada peternak, juga membantu menjaga mutu maupun menampung hasil susu, dan lainnya.
Kebijakan impor ini diduga ada keterlibatan para pemburu Rente(keuntungan para pemilik modal) untuk mendapatkan keuntungan dari impor susu. Inilah kebijakan buruk dalam sistem ekonomi kapitalistik.
Kedua, Ada kaitannya Hilirisasi susu
Menkop Budi Arie Setiadi mendorong koperasi-koperasi susu di Indonesia untuk melakukan hilirisasi produk agar bisa mengatasi masalah kelebihan produksi yang tidak terserap oleh IPS. Ia juga menyatakan pihaknya sudah memerintahkan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) untuk menyediakan pembiayaan bagi koperasi susu yang membutuhkan penguatan modal agar bisa meningkatkan volume dan kualitas produksi dan mendorong koperasi susu mulai memasuki rantai hilirisasi produk.
Hilirisasi adalah tahap pengolahan produk dari bahan mentah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan siap dijual kepada konsumen akhir. Proses ini melibatkan pemrosesan, pengemasan, distribusi, dan penjualan produk. Hilirisasi adalah target yang sejalan dengan Cetak Biru Pertanian 2029, yakni Indonesia mampu mencapai swasembada susu secara penuh.
Namun, hilirisasi justru merupakan wujud liberalisasi susu karena perusahaan asing bisa langsung mendirikan pabrik atau memiliki lahan produksi di negeri kita. Lihat saja, investor susu asal Vietnam dikabarkan tertarik membangun pabrik susu di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Selain itu, untuk investor dari Qatar, total ada 11 ribu hektare lokasi yang diklaim telah disediakan untuk mereka.
Jika produk kedua investor asing tersebut bertujuan mendukung swasembada susu nasional karena menggunakan bahan baku lokal, sungguh hal ini justru akan membuat persaingan dengan peternak lokal makin ketat. Pada akhirnya, yang akan memenangkan persaingan tentu saja para pemodal besar, yakni investor asing.