Oleh : Saridah
(Aktivis Muslimah)
Kebijakan larangan angkutan transportasi online atau daring mengangkut penumpang di sejumlah fasilitas publik di Balikpapan, dinilai belum memenuhi indikasi adanya persaingan usaha tidak sehat. Hal itu diketahui setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memanggil Dinas Perhubungan (Dishub) Balikpapan. Pemkot diklarifikasi atas kebijakan larangan bagi angkutan transportasi online yang diterbitkan pada 22 April 2024 tersebut.
“Pemkot Balikpapan sebagai regulator, tentu punya peran untuk memberi kesempatan berusaha yang sama. Distorsi dalam dunia usaha juga bisa disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Namun perlu juga dicari alasannya dan tujuan suatu kebijakan,” tegas pria yang bertugas memimpin Kanwil V KPPU Samarinda sejak Juli 2023 ini.
Dia pun mengapresiasi kebijakan Dishub Balikpapan yang meminta perusahaan jasa transportasi online menyediakan selter atau bangunan kecil beratap untuk tempat berteduh
yang ada di perhentian bus, taman hutan, dan sebagainya pada area publik yang ada di balikpapan.
Kemitraan Eksploitatif
Bukan hanya perusahaan yang dianggap membuat pengemudi ojol menderita, pemerintah pun dianggap demikian. Pasalnya, Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan No. 12/2019 pasal 15 yang menyatakan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi merupakan hubungan kemitraan. Sedangkan menurut Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Pujiati, kenyataannya hubungan yang terjadi adalah hubungan kerja. (Tempo, 1-8-2023)
Tampaknya, status “kemitraan” sedang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari memberi pengemudi jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari tidak menyangkal hubungan kemitraan antara perusahaan platform digital dan pengemudi ojol ataupun kurirnya, cenderung eksploitatif. Menurutnya, hal demikian terjadi karena perjanjian hubungan kemitraan dibuat sepihak.
Pihaknya kini tengah menyusun Permen Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Tenaga Kerja pada layanan angkutan berbasis aplikasi. Permen ini nantinya akan menjadi standar baku untuk menyusun perjanjian kerja antara platform dan pengemudi. Isi kontrak tersebut memuat hak-hak dasar pekerja seperti jam kerja, aturan insentif, jaminan sosial meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan, kematian, termasuk aturan keselamatan dan kesehatan pekerja.
Lantas, apakah dengan diubahnya regulasi akan berdampak signifikan terhadap nasib pengemudi ojol? Apa sebenarnya akar persoalannya dan bagaimana pandangan Islam terkait yang demikian?
Ketakmampuan Negara
Menelisik banyaknya permasalahan ojol, diduga kuat akan sulit, bahkan mustahil bahwa perubahan regulasi dalam bentuk Permen Ketenagakerjaan bisa berdampak signifikan terhadap nasib pengemudi ojol. Hal demikian setidaknya karena tiga sebab.
Pertama, Isi Permen yang sedang digodok tidak menyinggung hal krusial, seperti status hubungan pekerja dan perusahaan aplikasi. Beleid tersebut masih dalam platform status “kemitraan”, padahal status “kemitraan” yang setara hanyalah ilusi selama jumlah pencari kerja lebih banyak dari lowongan pekerjaan yang tersedia.
Dikatakan ilusi sebab membludaknya pencari kerja menjadikan daya tawar pengemudi ojol begitu lemah. Pengemudi ojol pada posisi yang jika tidak mau dengan aturan perusahaan, silakan keluar sebab masih banyak rakyat yang berminat terhadap pekerjaan tersebut, sekalipun dianggap eksploitatif.
Kedua, perubahan status “kemitraan” menjadi “karyawan” pun bukan solusi. Bukan juga cerita karangan jika perusahaan besar kerap berlaku zalim terhadap pegawainya. Lagi-lagi karena daya tawar pekerja yang sangat rendah sehingga pekerja lebih memilih terzalimi asalkan masih bekerja, daripada menganggur.