Opini

Nasib Buruh Masih Keruh, Islam Solusinya

165
×

Nasib Buruh Masih Keruh, Islam Solusinya

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Pembahasan kenaikan upah minimum sedang panas-panasnya belakangan ini. Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Subchan Gatot mengungkapkan bahwa mulai dari Sabtu-Minggu hingga Senin Dewan Pengupahan Nasional sudah melakukan sidang, bahkan di hari Minggu menteri ada rapat khusus dimana semua bahas soal pengupahan. Ada perwakilan pengusaha, serikat dan pemerintah, dan itu sejak awal memang kita ingin karena waktu juga tinggal dikit dalam memutuskan upah minimum, makanya ingin PP51/2024 maksimum 0,3 jadi kenaikan kurang lebih 3,5%, kenaikan di luar tadi kita dorong struktur skala upah untuk mereka yang bukan 0-1 tahun, karena ini yang mayoritas. Tahun ini jika mengikuti PP51/2023, Apindo ingin membuat skala upah. Pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun akan ada kenaikan gaji dengan skala tergantung kemampuan perusahaan, antara 1-3%.

Sungguh, berbicara tentang kenaikan upah yang cukup besar adalah kemustahilan pada saat ini. Realitas si kaya berkuasa atas si miskin masih saja tayang di negeri ini.

Saat ini regulasi tentang pekerja dibuat masih saja untuk menguntungkan pengusaha. UU Omnibus Law, misalnya, sangat merugikan para pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha.

Pengaruh kapitalisme sangat pekat di negeri ini. Kenaikan status dari negara menengah ke bawah menjadi negara menengah ke atas itu berdasarkan penilaian Bank Dunia melalui standar Gross National Income (GNI) itu pun penuh intrik.  Naiknya status atas  perekonomian nasional yang dinilai tumbuh 5,3%  pada 2022, memasukkan Indonesia dalam status negara berpendapatan menengah ke atas, ini pun atas kriteria Bank Dunia yang motor penggeraknya adakah  ekonomi kapitalisme.

Patut diketahui, GNI diperoleh dari penambahan produk domestik bruto (PDB) dan pendapatan dari luar negeri. Besarnya GNI merupakan hasil rata-rata pendapatan seluruh rakyat Indonesia, padahal pendapatan rakyat sendiri, tidaklah sama, sehingga tidaklah ayak menyatakan Indonesia sudah menjadi negara menengah ke atas.

Sejatinya prinsip ekonomi kapitalisme telah  meminimalkan pengeluaran untuk mendapatkan hasil yang besar. Sekularisme yang berkelindan dengannya membuat mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta. Pengusaha-pengusaha serakah semakin gagah bertungkah. Mereka keluarkan biaya produksi minimalis untuk mengeruk keuntungan maksimalis. Realisasinya, salah satu upaya untuk mewujudkannya  adalah dengan memberikan upah rendah.

Mirisnya lagi, berbagai kebijakan berkaitan dengan ini tidak ada yang menguntungkan para pekerja. Penguasa yang hanya sebagai regulator sangat berpihak pada pengusaha. Sistem demokrasi telah menanam tabiat sesat yang hancurkan rakyat. Penguasa terseret pada kesepakatan-kesepakatan dengan pengusaha, salah satunya dengan biaya pesta pemilu yang fantastik.

Wajarlah nasib buruh masih saja keruh sehebat apa pun pembicaraan penguasa terkait kebijakan pengupahan. Beleid mereka tidak pernah berpihak pada rakyat sebagai pekerja atau buruh. Pandangan kapitalistik terlalu membutakan cara pandang penguasa untuk mewujudkan sejahtera bagi rakyatnya. Sistem rusak telah menguburkan hati nurani untuk peka terhadap kesulitan hidup rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *